TERBARU

Selasa, 16 Agustus 2011

HAKIKAT HADIAH PAHALA

Pada hakekatnya setiap muslim yang berakal-baligh akan mendapatkan pahala/ganjarang dari setiap amal perbuatan yang ia lakukan. Baik berupa sedekan, sholat, puasa, haji, dll. Tentang hal ini Umat Muslim sepakat karena banyak sekali ayat-ayat Alquran dan hadits yang menjelaskan tentang ini. Diantaranya:
فمن يعمل مثقال ذرة خيرايرة (الزلزلة: 7)
Artinya: maka barang siapa mengerjakan kebaikan setimbang zarrah (yang kecil) niscaya ia akan melihat (mendapat) pahalanya.
Ayat ini menyatakan bahwa setiap orang yang mengerjakan kebaikan walaupun sebutir zarrah ataupun sekecil debu maka ia akan mendapatkan pahala melihat amal perbuatannya itu.
Nah pahala yang sudah didapat oleh orang yang mengmalkan apakah boleh dihadiahkan kepada orang lain, Baik yang masih hidup ataupun dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal? Kaum Ahlus Sunah Waljama’ah beri’tiqad bahwa itu boleh dilakukan dan orang yang melakukan itu akan mendapat faedah di akhirat.
Dalam kitab hadits Abu Dawud:
كان صلى الله عليه وسلم إذا فرغ من دفن الميت وقف عليه فقال: إستغفروا لأخيكم وسلوا له التثبيت فإنه الأن يسأل. (رواه ابو داود)
Artinya: “adalah Nabi Muhammad Saw, ketika telah selesai menguburkan mayat beliau berdiri sebentar dan berkata: minta ampunkanlah kalian (kepada tuhan) untuk saudaramu ini dan mohonkanlah agar dia menetapi, karena sekarang ia sedang ditanya”. (H. Riwayat Abu daud, lihat Sunan Abu Daud, juz III, pagina 215).
Hadits ini memberikan pengertian bahwa doa orang yang masih hidup berfaedah kepada orang yang sudah meninggal.
H. Riwayat Imam Tirmidzi
عن ابن عباس أن رجلا قال يا رسول الله ان أمى توفيت أفينفعها ان تصدكت عنها؟ قال نعم, قال: فإن لى مخرفا فأشهدك أنى قد تصدكت عنها.
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, bahwa seorang pria bertanya kepada Nabi Muhammad Saw: Ya Rasulullah, bahwasanya Ibu saya telah meninggal, adakah bermanfaat untuknya kalau saya bersedekah/berwakaf menggantikannya?. Jawab Rasulullah: Ya na’am. Lalu orang itu berkata: bawasanya saya mempunyai sebuah kebun, dan saya minta kesaksian tuan bahwa kebun saya itu telah saya sedekahkan/wakafkan untuk ibu saya” (H. Riwayat Imam Tirmidzi, lihat shahih Tirmidzi juz III, pagina 175)
Hdaits Imam tirmidzi:
عن حنش عن غلى أنه كان يضحى بكبشين أحدهما عن النبى صلى الله عليه وسلم والأخر عن نفسه, فقيل له, فقال: أمرنى به يعنى النبي صلى الله عليه وسلم فلا أدعه ابدا.
Artinya: “dari Hanasy, bawasanya sayidina Ali Kw. Berkorban dengan dua ekor kibasy, satunya (pahalanya) untuk Nabi Muhammad Saw, yang kedua (pahalanya) untuk diri sendiri beliau, maka orang bertanya kepadanya tentang ini. Beliau menjawab: demikian itu disuruh Nabi kepada saya, karenanya saya melakukan selalu dan tidak pernah meninggalkannya.” (hadits riwayat Imam Tirmidzi. Lihat shahih Tirmidzi juz VI, pagina 219.)
Jelas sekali bahwa di dalam hadits ini, Nabi Muhammad Saw, memerintahka kepada shahabat Ali Kw, dan sahabat Ali Kw, melakukannya dan tidak pernah meninggalkannya.
Hadits riwayat Ibnu Abbas dari Nabi SAW :
أَنَّهُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذَّبَانِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا بِنِصْفَيْنِ ثُمَّ غَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ صَنَعْتَ هَذَا فَقَالَ لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Artinya : Nabi SAW pernah melewati dua buah kuburan, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya dua mayat ini sedang disiksa, namun bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak membersihkan dirinya dari air kencingnya, sedang yang lainnya ia dahulu suka mengadu domba”. Kemudian beliau meminta pelepah kurma yang masih basah dan dibelahnya menjadi dua. Setelah itu beliau menancapkan salah satunya pada sebuah kuburan dan yang satunya lagi pada kuburan yang lain seraya bersabda: “Semoga pelepah itu dapat meringankan siksanya, selama belum kering”.(H.R. Bukhari 19 dan Muslim 20)

Al-Qurthubi mengatakan :
“Ulama kita mengatakan, kalau kayu saja dapat meringankan azab kubur (bermanfaat kepada mayat), maka apalagi bacaan al-qur’an yang dilakukan oleh seorang mukmin?.”21
Menghadiahkan pahala kepada mayat termasuk sadaqah, karena sadaqah tidak hanya dalam bentuk harta. Sadaqah bisa saja dalam bentuk tahlil, tasbih dan lainnya. Sedangkan sadaqah dapat bermanfaat bagi mayat dengan ijmak ulama sebagaimana dijelaskan di atas. Keterangan bahwa sadaqah tidak hanya dalam bentuk harta adalah hadits Nabi SAW riwayat Huzaifah berbunyi :
كل معروف صدقة
Artinya : Setiap yang ma’ruf adalah sadaqah (H.R. Muslim) 22

Dan hadits Nabi SAW riwayat Abu Zar berbunyi :
ان بكل تسبيحة صدقة وكل تكبيرة صدقة وكل تحميدة صدقة و كل تحليلة صدقة
Artinya : Sesungguhnya setiap tasbih adalah sadaqah, setiap takbir sadaqah, setiap tahmid sadaqah dan setiap tahlil adalah sadaqah. (H.R. Muslim) 23

Pendalilian ini telah disebut oleh al-Qurthubi dalam al-Tazkirah 24
Sabda Nabi SAW :
من دخل المقابر فقرأ سورة يس خفف عنهم له مثله وكان له لعدد من فيه حسنات
Artinya : Barang siapa yang memasuki pekuburan dengan membaca Surat Yasin, maka akan diringankan orang dalam pekuburan itu sebanding dengannya dan baginya sejumlah kebaikan (H.R. Abu Bakar Abdul Aziz) 26
Sabda Nabi SAW :
من زار قبر والديه كل جمعة أو أحدهما فقرأ عندهما يس والقرآن الحكيم غفر له بعدد كل آية وحرف
Artinya : Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua ibu bapaknya atau keduanya pada setiap Jum’at dengan membaca Yasin dan al-Qur’an al-Hakim, maka akan diampuninya sebanding setiap ayat dan huruf.(H.R. Ibnu Hibban dan Ibnu ‘Ady) 27
Tersebut dalam hadits Abu Dawud:
عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم. سمع رجلا يقول: لبيك عن شبرمة, قال:من شبرمة؟ قال: أخ لى" قال: أحججت عن نفسك, قال: حج عن نفسك ثم حج عن شبرمة.
Artinya: “dari Ibnu Abbas , bahwasanya Nabi Muhammad Saw, mendengar seorang laki-laki membaca talbiyah (dalam ibadah haji), “Labbaika ‘an Syubrumah”” (Tuhan, saya berkanankan seruanmu untuk mengganti Syubrumah). Lantas Nabi bertanya kepada orang itu: siapa Subrumah itu?. Jawabnya: saudara (karib) saya. Apakah engkau sudah megerjakan haji untuk mu? Tanya Nabi. “belum”, jawabnya.
Nabi berkata: hajilah dulu untuk dirimu, kemudian baru menghajikan Subrumah”. (H. Riwayat Abu Dawud. Lihat sunan Abu Dawud juz II, pagina 162)
Hadits ini menyatakan bahwa ibadah haji seseorang boleh digantikan orang lain, tentu jika yang bersangkutan ada uzur, umpamanya sudah terlalu tua, ataupun sudah wafat.
Hadits ini bukan menerangkan antara bapak dan anak, atau antara anak dan ibu, tetapi menerangkan antara hubungan serorang dengan karib kerabatnya (orang lain).
Dalil doa bermanfat bagi mayat antara lain firman Allah Ta’ala :
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
Artinya : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami (Q.S.Al-Hasyr: 10)
 Tersebut dalam hadits Muslim.
Bahwasanya ketika Nabi Muhammad Saw ketika akan berkorban dua ekor kibasy putih, barniat bagini:
بسم الله اللهم تقبل من محمد وال محمد ومن أمة محمد ثم ضحى به.
Artinya: “Dengan nama Allah! Ya Allah terimalah (korbanku) dari Muhammad, dari keluarga Muhammad, dan dari Ummad Muhammad” (H.riwayat Imam Muslim, lihat Shahih Muslim Juz XIII, pagina 122).
Jelas dalam hadits Muslim yang shohih ini, Nabi Muhammad Saw berkorban yang pahalanya untuk beliau, dan diberikan untuk keluarga beliau dan untuk seluruh umat beliau.
Mengenai hadits di atas pengarang kitab Bariqatul Muhammadiyah berkata:
Artinya: ” Nabi Muhammad Saw, memberikan pahala kepada umat beliau, ini berarti pelajaran dari Nabi bahwa amalan orang lain dapat memberi manfaat kepada orang lain. Mengikut ajarang dan petunjuk Nabi Muhammad Saw, ini adalah suatu perpegangan dengan tali yang teguh” (Bariqatul Muhammadiyah, juz II, pagina 99- cetakan Mustafa Babil Halabi 1348H.)
Orang yang membantah
Sedangkan orang2 yang membantah biasanya menggunakan dalil ini:
Artinya: “dan bahwasanya manusia tidak akan mendapat (pahalanya) melainkan dari usaha yang yang telah diusahakannya” (surat An Najm, ayat 39)
Inilah akibatnya jika seorang hanya belajar lewat terjemah sehingga menggunakn dalil semaunya sendiri.
Ayat ini menerangkan hukum yang terjadi pada syari’at Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum yang terjadidalam syari’at Nabi Muhammad Saw. Dalam mengajukan harus jujur, jangan mengambil dalil sepotong-potong.
Pangkal ayat ini berbunyi seluruhnya:
Artinya: “Atau belumkah dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab-kitab Nabi Musa dan Kitab Nabi Ibrahim yang memenuhi kewajibannya, bahwa tiada yang dapat memikul seseorang akan dosa orang lain, dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain yang mengusahakan” (An Najm : 36-39)
Jelas dalam susunan ayat ini bahwa hukum itu berlaku pada syari’an Nabi Musa As dan Nabi Ibrahim As.
Berkata ahli tafsir Khazim:
Artinya: “adalah yang demikian ituuntuk kaum Ibrahim dan Musa, dan adapun bagi Umat sekarang maka mereka bisa mendapat pahala dari usahanya dan dari usaha orang lain” (lihat tafsir Khazim jilid VI, pahgina 223)
Dan berkata sahabat Nabi, ahli tafsir yang utama Ayat ini menurut riwayat dari Ibnu Abbas sudah dinasakh dengan
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
Artinya : Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka (Q.S. al-Thuur : 21)
Ada sebagian orang menentang tahlil atau samadiyah dengan berargumentasi dengan hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, yang berbunyi :
إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
Artinya : Apabila meninggal seorang manusia, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang mau berdo’a untuknya. (H.R. Muslim) 28

Perlu dicatat bahwa hadits ini hanya membicarakan amalan orang yang sudah meninggal. Sedangkan tahlil dan samadiyah ini merupakan amalan orang masih hidup, dimana orang yang masih hidup mendo’akan sebagaimana pahala bacaan ayat al-Qur’an didapatinya supaya juga diberikan Allah kepada orang yang sudah meninggal. Berkata Ibnu Shalah dalam Fatawanya :
“Demikian juga hadits tersebut (hadits di atas) tidak menunjukkan batal pendapat yang mengatakan sampai hadiah pahala bacaan, karena hadits tersebut mengenai amalan simati. Sedangkan ini (hadiah pahala) merupakan amalan orang lain” 29

Penafsiran hadits ini secara ringkas adalah sebagai berikut :
a.Seseorang yang sudah meninggal, maka pahala amalannya semua terputus kecuali tiga yang disebut dalam hadits. Yang terputus di sini bukan amalannya, tetapi pahala amalan, karena amalan seseorang apabila dia meninggal akan terputus tanpa kecuali.
b.Tiga yang dikecualikan tersebut adalah amalan orang sudah meninggal, yaitu Pertama, sadaqah jariah, yakni waqaf yang dilakukan pada seseorang masih hidup. Pahalanya terus mengalir meskipun orang itu sudah meninggal. Kedua, ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu yang pernah diberikan kepada orang lain tatkala dia masih hidup akan terus mengalir pahalanya kepada orang tersebut sepanjang ilmu itu masih dimanfaatkan orang. Ketiga, anak yang shaleh mau yang berdo’a kepadanya, yakni anak yang shaleh yang merupakan hasil usaha bimbingannya pada waktu dia masi hidup.
Dengan demikian, jelaslah bahwa hadits ini tidak relevan dengan masalah tahlil atau baca samadiyah. Karena tahlil atau samadiyah merupakan amalan orang yang masih hidup.

Dalil lain yang biasa dibawa oleh orang-orang yang menentang tahlil atau samadiyah adalah Q.S. al-Baqarah : 286, yaitu :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Q.S. al-Baqarah : 268)

Ayat ini hanya menjelaskan kepada kita bahwa setiap orang melakukan sebuah amalan, maka pahala amalannya itu menjadi hak orang yang melakukannya itu. Artinya tidak bisa kita yang melakukan, orang lain yang mendapatkannya. Namun karena ini menjadi hak orang yang melakukan amalan tersebut, maka dapat saja dia menghadiahkannya untuk orang lain dalam pengertian mendo’akan supaya orang lain juga mendapat pahala yang sama dengan pahala yang didapatinya. Ayat ini tidak boleh dipahami bahwa seseorang yang sudah meninggal dunia tidak dapat memperoleh pahala dari amalan orang lain, karena pemahaman seperti itu bertentangan dengan ijmak ulama sebagaimana uraian di atas bahwa telah terjadi ijmak ulama, sadaqah, do’a dan ibadah haji bermanfaat untuk orang yang sudah meninggal.
Ada juga orang yang bernafsu dan beringas mengatakan “bahwa Imam Syafi’I berpendapat bahwa pahala-pahala bacaan ayat sucu Al Quran tidak sampai kepad mayat”.
Dalam kalangan madzhab Syafi’I dan bahkan kalangan umat Islam sepakat bahwa sedekah pahala sampai pada mayat.
Imam Nawawi seorang Ulama Mujtahid Fatwa dalam madzhab Imam Syafi’I mengatakan dalam kitab Syarah Hadits Muslim:
Artinya: “”Barang siapa yang hendak berbuat kebajikan kepada kedua orang tua, ia boleh bersedekah untuk keduanya, dan pahala sedekah itu sapai kepada mayit, dan mayit mendpat manfaat dari padanya, hal ini tidak ada pertikaian antara kaum Muslimin dan inilah pendapat yang benar.” (Syarah Muslim juz I, pagina 89)
Lalu Imam Nawawi sesudah menerangkan ini, lantas menyambung ucapan beliau:
“adapun dikabarkan oleh Qadhi Abu Hasan Al Mawardi dalam kitab Al Hawi, bawa sebagian ahli berpendapat bahwa “seorang tidak akan menerima apa-apa lagi sesudah wafatnya”, maka itu adalah madzhab yang salah, jelas batalnya, karena berlawanan dengan nash-nash kitabullah, sunnah dan ijma’ ummat. Pandapat itu tidak layak untuk diperhatikan”. (syarah Muslim. Juz I. pagina 90).
Diterangkan juga dalam kitab Fathul Mu’in: “Fatwa Imam Syafi’I yang mengatakan tidak sampai itu adalah kalau bacaan itu tidak dilakukan dihadapan mayat, dan pula tidak diniatkan untuk mayat itu, atau ia niatkan tapi tidak dimintakan (di do’akan) kepada tuhan untuk menyampaikannya”
Pemahaman ini berdasarkan amalan yang diriwayat dari Imam Syafi’i, bahwa beliau sendiri pernah berziarah ke makam Imam al-Laits bin bin Sa’ad dan pada saat itu beliau membaca zikir dan al-Qur’an al-Karim. Muhyiddin Abdusshamad telah mengutip riwayat ini dari Kitab al-Dzakirah al-Tsaminah Halaman enam puluh empat 17. Imam Syafi’i sendiri juga pernah menyatakan pendapat yang bersesuaian dengan riwayat di atas, yaitu :
“Dianjurkan membaca sesuatu dari al-Qur’an pada kuburan dan jika dengan khatam, maka itu lebih baik.”18
Tersebut dalam kitab Al Adzkar karangan Imam Nawawi:
Artinya: “berkata Imam Syafi’I dan kebanyakan sahabat-sahabat beiau: sunah membaca ayat-ayat (dari Alquran) dihadapan mayit. Dan jika dibacakan Alquran keseluruhan (sampai khatam) maka akan lebih baik.” (Al Adzkar, pagina 147) Imam Syafi’I mengatakan bahwa sunah membacakan Alquran di hadapan mayat.
Uraian di atas dapat disimpulkan:
1.       Dala madzhab Syafi’I sepakat berfatwa pahala do’a, pahala waqaf, sedekah, dll, dapat dihadiyahkan kepada mayat dan sampai padanya.
2.       Tetapi pahala bacaan ayat suci Alquran , ada fatwa Imam Syafi’I yang mengatakan sampai, dan ada pula perkataan beliau yang mengatakan tidak sampai, tetapi perkataan yang terikhir ini dha’if (lemah) walaupun banyak tersiar.
3.       Kebanyakan shahabat Imam Syafi’I berpegang pada fatwa yang pertama, yaitu sampainya pahala bacaan, sama juga dengan do’a, sedekah, dll. Pendapat inilah yang dipegang dan diamalkan dalam lingkungan madzhab Syafi’I sekarang.
4.       Hadits-hadits Nabi banyak sekali yang mengatakan sampai itu.

1 komentar:

  1. Wah kalo gitu orang-orang tidak usah beribadah tekun-tekun, toh besuk kalo sdh mati dikirimi pahala...
    wah kalo gitu sholat fardu di masjid menjadi kalah laku dg tahlilan yang banyak bagi-bagi sembako.
    Itulah kalo ayat-ayat Al Qur'an sudah dikalahkan dengan hadis-hadis do'if atau hadis shohih dengan pemahaman ahli bid'ah.

    BalasHapus