TERBARU

Rabu, 04 Juli 2012

Luar Biasa!!


Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.
Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain tidak bukan merupakan isteri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu,Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?
Aisyah RA menjawab,Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja.
Apakah Itu?, tanya Abubakar RA.
Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada disana, kata Aisyah RA.

Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya.
Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, sipengemis marah sambil menghardik, Siapakah kamu?
Abubakar RA menjawab,Aku orang yang biasa (mendatangi engkau).
Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku, bantah si pengemis buta itu.
Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah.
Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku, pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.
Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata, Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia….
Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim.

Kamis, 03 November 2011

Wudhu


FARDLUNYA WUDHU
Berwudlu adalah sebagian dari syarat sholat. Baik itu shalat jenazah, ataupun sujud syukur, dan sujud tilawah.
Fardlunya wudlu ada 6 (enam ):
1.       Niat.
Niat adalah:
قصد الشئ مقترنا بفعله
Menyengaja melakukan sesuatu bersamaan dengan pekerjaanya.
 Niat ini dilakukan di dalam hati, karena tempat niat itu ada dalam hati. Dan niat dilakukan bersamaan dengan saat membasuh wajah, karena yang wajib dibasuh pertama adalah wajah. Bukan sebelumnya atau sesudahnya. Jadi, niat menyengaja melakukan wudlu, dilakukan bersamaan dengan membasuh wajah yang merupakan basuhan wajib pertama.
Yang harus ada dalam niat wudhu adalah niat menghilangkan hadats, atau berniat melakukan fardhu wudhu atau berniat melakukan wudhu saja.
Seperti niat:
نويت الوضوء لرفع الحدث الاصغر فرضا لله تعالى
Saya berniat wudhu untuk menghilangkan hadats karena Allah Swt.
2.       Membasuh keseluruhan wajah.
Firman Allah Swt:
فاغسلوا وجوهكم   (الماءدة: أية6)
Maka asuhlah wajah-wajah kalian
Batasan wajah yang wajib dibasuh adalah:
·         dari tempat tumbuhnya rambut kepala atas sampai pada janggut.
·         dari kuping kanan sampai pada kuping sebelah kiri. Termasuk wajah juga adalah rambut yang tumbuh di sekitar wajah, seperti alis, kumis, dan jambang. Ataupun rambut lain yang tumbuh di area wajah, maka wajib dibasuh hingga samapai pada kulitnya.
Berbeda dengan jenggot yang tumbuh di janggut seorang laki-laki yang sangat tebal, yang tidak terlihat kulitnya ketika berbicara. Maka tidak wajib  baginya membasuh janggutnya sampai pada kulit tempat tubuh jenggot, namun yang wajib hanya membasuh luar rambut yang terlihat saja.
3.       Membasuh kedua tangan dari ujung jari sampai pada siku lebih sedikit.
Firman Allah Swt:
وأيديكم إلى المرافق (الماءدة: أية6)
dan basuhlah tangan-tangan sampai (serta) siku-siku (kalian)
روى مسلم أن أبا هريرة رضي الله عنه توضأ فغسل وجهه فأسبغ الوضوء, ثم غسل يده اليمنى حتى أشرع فى العضد, ثم اليسرى حتى أشرع فى العضد, ثم مسح برأسه, ثم غسل رجله اليمنى حتى أشرع فى الساق, ثم غسل رجله اليسرى حتى أشرع فى الساق, ثم قال: هكذا رأيت رسول الله يتوضأ
“Bahwa Abu Hurairah berwudhu, maka dia membasuh wajahnya hingga sempurna, kemudian, dia memasuh tangan kanannya hingga termasuk pada lengan. Kemudian membasuh tangan kirinya hingga termasuk lengan. Kemudian dia usap kepalanya, kemudian membasuh kaki kanan hingga betis dan kaki kirinya hingga betis. Kemudian beliau berkata: “yang demikian tadi, seperti halnya aku melihat (wudhu) Rasulullah”
Keterangan: Apabila seseorang mempunyai tangan utuh namun tidak mempunyai siku misalnya, maka harus dikira-kirakan batasan sikunya, disamakan dengan manusia pada umumnya. Namun apabila seseorang mempunyai siku tangan yang pendek misalnya, maka dicukupkan dengan membasuh tangan sampai ke siku apa adanya.
Juga wajib membasuh anggota di bawah kuku. Serta menghilangkan semua yang dapat menghalangi menempelnya air pada kulit, seperti cat, pitek, dll.
4.       Mengusap sebagian kepala. Walaupun yang diusap hanya satu rambut (batasan minimal dalam mengusap kepala).
Firman Allah Swt:
وامسحوا برؤوسكم
“Usaplah kepala kalian”
وروى مسلم انه النبى صلى الله عليه وسلم, توضأ فمسح بنصيته وعلى العمامة
Riwayat Imam Muslim: sesungguhnya berwudhu, maka beliau mengusap ubun-ubun dan di atas sorbannya
Catata: Rambut yang dibasuh tidak di luar batas kepala, apabila yang dibasuh adalah rambut yang apabila dipanjangkan melebihi batasan kepala, dan yang dibasuh adalah yang keluar dari batasan kepala itu, maka tidak sah.
5.       Membasuh kedua kaki sampai pada mata kaki.
وأرجلكم الى الكعبين
Dan basuhlah kaki-kaki sampai serta mata kakinya”a
Keterangan: Seperti halnya tangan, apabila ada orang yang tidak memiliki mata kaki maka dikira-kirakan batasan mata kaki seperti pada manusia normal. Apabila mata kaki yang dimiliki pendek, maka dicukupkan dengan membasuh mata kaki apa adanya.
6.       Tartib dalam runtutan wudhu.
Keterangan: Dalam wudhu harus tartib dari enam fardhu wudhuyang telah dituturkan. Dari mulai membasuh wajah bersamaan dengan niat, membasuh kedua tangan sampai ke siku, mengusap sebagian kepala, diakhiri membasuh kaki. Semua harus berurutan. Apabila tidak berurutan, maka yang dihitung sah adalah yang sesuai urutannya saja, yang lain tidak sah.

Catatan : Syarat Thoharoh (bersuci) ada 7 (tujuh).
1)      Menggunakan Air mutlak (air suci mensucikan)
2)      Mempunyai Ilmu (pengetahuan) tentang bersuci, walau masih berupa dzon(prasangka) jika terjadi keraguan.
3)      Tidak ada yang mencegah bersuci. Seperti haid, nifas,dll.
4)      Menempelnya air pada kulit. Apabila ada yang menghalangi, maka, wajib dihilangkan.
5)      Mengalirya air pada anggota yang dibasuh. Apabila seorang memasukkan/menenggelamkan anggota wudhu kedalam air, maka itu sudah dicukupkan, digolongkan juga membasuh.
6)      Menghilangka najis yang menempel.
7)      Islam

Sunah Perkara dalam Wudhu
Sunah –sunah dalam wudhu ada sepulu (10):
1.       Bersiwak.
Rasulullah Saw. bersabda:
لو لا ان أشق على امتى لأمرتهم بالسواك عند كل وضوء
seandainya tidak memberatkan umatku, pastilah aku perintahkan umatku untuk bersiwak setiap akan wudhu
Bersiwak adalah menggosok gigi dengan benda yang mempunyai permukaan kasar, seperti kain, kayu, sikat gigi,dll. Dan yang paling utama adalah dengan karyu arok.

قال ابن مسعود رضي الله عنه: كنت أجتنى لرسول الله سواكا من أراك
“”
Bersiwak juga disunahkan sebelum sholat. Sabda Rasulullah Saw:
لو لا ان أشق على امتى لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
seandainya tidak memberatkan umatku, pastilah aku perintahkan umatku untuk bersiwak setiap akan sholat
2.       Membaca basmalah
Diceritakan oleh Imam Nasai dari Anas mengatakan:
طلب بعض اصحاب النبى وضوءا فلم يجده فقال النبى: هل على احد منكم ماء؟, فأتى بماء فوضع يده فى الإناء الذى فيه الماء ثم قال: توضعوا بسم الله. فرأيت الماء يفور من بين اصابعه, حتى توضعوا وكانوا نحو سبعين
Sebagan dari sahabat Nabi mencari air untuk berwudhu tetapi mereke tidak menemukannya, kemudian Nabi Saw berkata : adakah diantara kalian yang membawa air?, kemudian diberikanlah air, Nabi meletakkan tanganya ke dalam tempat air tersebut, kemudian berkata: ”berwudhulah dengan Bismillah”, maka aku melihat air mengalir dari jari-jari beliau, sehingga para sahabat berwudhu dari air tersebut, dan mereka ada sekitar tujuh puluh orang

Diterangkan dalam kita muhadzab bahwa hadits Abi Dawud :
كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه بالحمد لله فهو أقطع
Setiap perkara baik yang tidak diawali dengan memuji Nama Allah maka seperti hewan yang putus ekornya”.
Ini adalah sebagian riwayat tentang sunahnya membaca “bismillah”.
makna lafad أقطع maksudnya, sedikit barokahnya.
Membaca basmalah disunahkan ketika akan melakukan wudhu, apabila pada permulaan wudhu lupa membaca basmalah maka diperbolehkan membaca basmalah pada tengah-tengah wudhu, namun apabila teringat setelah wudhu selesai, maka tidak disunahkan membaca basmalah.
Bacaan basmalah:
بسم الله الرحمن الرحيم
Bismillahir rohmaanir rohiim (dengan asma Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang)
3.       Membasuh kedua telapak tangan
Membasuh tepak tangan sampai pada pergelangan, dilakukan sebelum berkumur. Supaya mantap, bahwa telapak tangan kita dalam keadaan suci.
فحديث السيخين عن عبد الله بن زيد أنه وصف وضوء الرسول الله, فدعا بماء, فأكفأ منه على يديه, فغسلهما ثلاثا, ثم أدخل يده فاستخرجها, قمضمضى واستنشق من كف واحدة فعل ذلك ثلاثا الى أخره
“Dari Abdullah bin Zaid, menceritakan sifat wudhunya Rasulullah Saw. Rasulullah mengambil air kemudian membasuh kedua tangannya  dan mencucinya sebanyak tiga kali, kemudian memasukkan tangannya mengambil air untuk berkumur dan menghirup air dari hidung dari satu cakupan, beliau melakukannya sebanyak tiga kali. kemudian meneruskan wudhunya sampai selesai”.
4.       Berkumur dan membersihkan hidung (menghisap air ke dalam hidung dan di keluarkan lagi)
Berkumur disunahkan dilakukan setelah membasuh telapak tangan. Asal sunahnya adalah, memasukkan air kedalam mulut. Baik dalam -berkumur- dengan menggerakkan air di dalam mulut ataupun tidak, atau, memasukkan air ke dalam mulut kemudian di keluarkan lagi ataupun ditelan, tetap mendapat kesunahan dalam wudhu.
Membasuh hidung dilakukan setelah berkumur. Asal sunahnya adalah memasukkan air kedalam hidung, baik dengan cara menghirup air melalui hidung kemudian dikeluarkan ataupun hanya mengusap dalamnya hidung.
Yang lebih utama adalah, bersamaan antara berkumur dan menghisap air dalam hidung, kemudian di keluarkan.
Keterangan: Antara berkmur dan menyerap air ke dalam hidung, menurut pendapat yang Adzhar (pendapat yang kuat dari  Imam Syafi’i) Nabi Muhammad Saw, melakukannya secara bersamaan, karena ada hadits dari ‘Adullah bin Zaid di atas. Imam Bukhori, dalam haditsnya:
تمضمض واستنشق واستنثر ثلاثا بثلاث غرفات
“”
5.       Mengusap seluruh anggota kepala
Ketika membasuh kepala yang diwajibkan hanya membasuh sebagian kepala, dan meratakan anggota anggota kepala hukumnya sunah.
6.       Mengusap telinga
Setelah mengusap kepala disunahkan mengusap seluruh bagian telinga. Baik telinga bagian luar ataupun telinga bagian dalam. Dengan mengmbil air baru, bukan dari bekas air mengusap kepala. Hal ini seprti dalam hadits yang disampaikan oleh Baihaki dan Hakim dan mereka berdua mengatakan hadits ini shohih, dari ‘Abdillah bin Zaid berkata:
رأيت ألنبي يتوضأ يأخذ لأذنيه ماء خلاف الماء الذى أخذه لرأسه ويمسح صماخيه أيضا بماء جديد ثلاثا
“Saya melihat Nabi Saw, mengambil air untuk mengusap telinga dengan air baru (bukan bekas dari) air yang digunakan untuk mengusap kepala, dan mengambil air baru untuk mengusap lubang telinga, tiga kali”
7.       Meratakan air diantara sela-sela janggut yang tebal serta meratakan air pada jari kaki dan tangan.
·         Membasuh jenggot yang tebal hukumnya wajib, namun apabila jenggotnya tebal, yang wajib dibasuh hanya permukaannya saja, dan meratakan sampai kedalam (bila jenggotnya tebal) hukumnya sunah, seperti keterangan sebelumnya. Keterangan dari Imam Turmudzi yang mengatakan hadits ini shohih dan yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Anas ra:
أنه كان إذا توضأ أخذا كفا من ماء فأدخله تحت حنكه, فخلل به لحيته, وقال: هكذا أمرني ربي
“Sesungguhnya, Nabi Saw, ketika wudhu mengambila air dari jari-jari  dan  memasukkan dari bawah tenggorokannya, kemudian meratakan pada sela-sela jenggotnya. Kamudian Nabi Saw, berkata: “Seperti ini adalah yang diperintahkan tuhanku kepadaku”
Meratakan jenggot dengan jari-jari ini dimulai dari bawah janggut dan diteruskan ke dalam sela-sela jenggot, seperti keterangan dalam kitab Syarah Muhadzab dari Syarkhosi, mengatakan: Dalil meratakan air pada sela-sela jenggot di ambil dari hadits ini.
·         Membasuh tangan dan kaki pada saat wudhu adalah wajib, namun disunahkan, untuk meratakan sela-sela jari tangan dan kaki dengan jari-jari kita.
Dalam kitab Roudhoh diterangkan tentang kesunahan ini tanpa menuturkan perkataan juhurul Ulama’, seperti halnya keterangan Ibnu Kajin, dalam hadits, Imam Turmudzi mengatakan hadits ini hasan, seperti halnya yang diterangkan oleh Imam Rofi’I, hadits yang disampaikan oleh Ibnu Hiban:
أنه قال: إذا توضأت فخلل أصابع يديك ورجليك.
“Sesungguhnya Nabi Saw, ketika berwudhu meratakan (nyela-nyelani) jari-jari tangan dan kakinya”
Dengan cara, membasuh tangan kanan kemudian diratakan dengan menggunakan jari-jari tangan kiri, dan ketika membasuh tangan kiri, tangan kanan meratakan jari-jari tangan kiri. Dan pada saat membasuh kaki, jari-jari kita meratakan diantara jari-jari kaki.
8.       Mendahulukan anggota yang kanan.
Disunahkan memdahulukan anggota yang kanan dan mengakhirkan anggota kiri, seperti tangan, kaki, dan telinga. Kecuali pipi, tidak disunahkan mendahulukan yang kanan, karena masih dalam satu rangkaian satu wajah.
9.       Membasuh atau mengusap (tiap anggota wudhu )tiga kali-tiga kali
Sunah, memabasuh tiap-tiap anggota wudhu, tiga kali, tiga kali. Seperti hadits dari Imam Muslim dari ‘Utsman:
أنه توضأ ثلاثا ثلاثا
“Nabi Saw, berwudhu tiga kali, tiga kali”
Dan hadits dari Abi Dawud dari Utsman:
أنه نوضأفمسح رأسه ثلاثا
“Nabi Saw, berwudhu dan mengusap kepala tiga kali”
Dalam hadits lain ada juga yang menyebutkan Nabi berwudhu dengan jumlah basuhan yang berbeda-beda.
10.   Kontinyu / bersambung terus menerus.
Maksudnya adalah, berurutan bersuci dari anggota satu ke anggota yang lain, tidak terpisah dengan jarak yang lama. Sekiranya basuhan pertama belum kering untuk melanjutkan basuhan yang kedua, dan seterusnya.
Wallahu A’lam Bish Showab

Sabtu, 15 Oktober 2011

Imam an Nawawi

Nasab (keturunan) Imam an-Nawawi

Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i. Kata ‘an-Nawawi’ dinisbahkan kepada sebuah perkampungan yang bernama ‘Nawa’, salah satu perkampungan di Hauran, Syiria, tempat kelahiran beliau. Beliau dianggap sebagai syaikh  di dalam madzhab Syafi’i dan ahli fiqh terkenal pada zamannya.

Kelahiran dan Lingkungannya

Beliau dilahirkan pada Bulan Muharram tahun 631 H di perkampungan ‘Nawa’ dari dua orang tua yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqh pada sebahagian ulama di sana. Proses pembelajaran ini di kalangan Ahli Hadits lebih dikenal dengan sebutan ‘al-Qira`ah’.
Suatu ketika, secara kebetulan seorang ulama bernama Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi melewati perkampungan tersebut dan menyaksikan banyak anak-anak yang memaksa ‘an-Nawawi kecil’ untuk bermain, namun dia tidak mahu bahkan lari dari kejaran mereka dan menangis sambil membaca al-Qur’an. Syaikh ini kemudian menghantarkannya kepada ayahnya dan menasihati sang ayah agar mengarahkan anaknya tersebut untuk menuntut ilmu. Sang ayah setuju dengan nasihat ini.
Pada tahun 649 H, an-Nawawi, dengan dihantar oleh sang ayah, tiba di Damaskus dalam rangka melanjutkan studinya di Madrasah Dar al-Hadits. Dia tinggal di al-Madrasah ar-Rawahiyyah yang menempel pada dinding masjid al-Umawy dari sebelah timur. Pada tahun 651 H, dia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, lalu pulang kembali ke Damaskus.
Pengalaman Intelektualnya

Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi ‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat.
Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat tiga karakteristik yang sangat menonjol:
Pertama, Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut Ilmu Sejak Kecil hingga meningkat Remaja.
Ilmu adalah segala-galanya bagi an-Nawawi sehingga dia merasakan kenikmatan yang tiada tara di dalamnya. Beliau amat serius ketika membaca dan menghafal. Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’ dalam waktu empat bulan setengah.
Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab ‘al-Muhadz-dzab’ karya asy-Syairazi. Dalam tempoh yang relatif singkat itu pula, beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya, Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al-Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan.
Kedua, Keluasan Ilmu dan Wawasannya
Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu, seorang muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita, “Pertama beliau dapat membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan tash-hihnya; kedua, pelajaran terhadap kitab ‘al-Wasith’, ketiga terhadap kitab ‘al-Muhadzdzab’, keempat terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’, kelima terhadap kitab ‘Shahih Muslim’, keenam terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu, ketujuh terhadap kitab ‘Ishlah al-Manthiq’ karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa), kelapan di dalam ilmu Sharaf, kesembilan di dalam ilmu Ushul Fiqh, kesepuluh terkadang terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab ‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy, kesebelas di dalam ‘Asma’ ar-Rijal’, keduabelas di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan ejaannya”.
Ketiga, Produktif di dalam Menelurkan Karya Tulis
Beliau telah berminat terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an.
Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobjektifan-nya di dalam memaparkan pendapat-pendapat Fuqaha‘.
Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara Dunia Islam.
Di antara karya-karya tulisnya tersebut adalah ‘Syarh Shahih Muslim’, ‘al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab’, ‘Riyadh ash-Shalihin’, ‘ al-Adzkar’, ‘Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat’ ‘al-Arba’in an-Nawawiyyah’, ‘Rawdhah ath-Thalibin’ dan ‘al-Minhaj fi al-Fiqh’.
Budi Pekerti dan Sifatnya

Para pengarang buku-buku ‘biografi’ (Kutub at-Tarajim) sepakat, bahawa Imam an-Nawawi merupakan hujung tombak di dalam sikap hidup ‘zuhud’, teladan di dalam sifat wara’ serta tokoh tanpa tanding di dalam ‘menasihati para penguasa dan beramar ma’ruf nahi munkar’.
·         Zuhud
Beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat tenaga dari kongkongan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di dalam berpakaian dan bahkan tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan di dalam menuntut ilmu seakan membuat dirinya lupa dengan semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah mendapatkan gantinya.
Di antara indikatornya adalah ketika beliau pindah dari lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup ‘seadanya’ menuju kota Damaskus yang ‘serba ada’ dan penuh glamour. Perpindahan dari dua dunia yang amat kontras tersebut sama sekali tidak menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu, bahkan sebaliknya semakin menghindarinya.
 
·         Wara’
Bila membaca riwayat hidupnya, maka akan banyak sekali dijumpai sifat seperti ini dari diri beliau. Sebagai contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mahu memakan buah-buahan Damaskus kerana merasa ada syubhat tentang kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya di sana.
Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar al-Hadits, beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi tidak sedikit pun diambilnya. Beliau justeru mengumpulkannya dan menitipkannya pada kepala Madrasah. Setiap mendapatkan jatah tahunannya, beliau membeli sebidang tanah, kemudian mewakafkannya kepada Dar al-Hadits. Atau membeli beberapa buah buku kemudian mewakafkannya ke perpustakaan Madrasah. Beliau tidak pernah mahu menerima hadiah atau pemberian, kecuali bila memang sangat memerlukannya sekali dan ini pun dengan syarat. Iaitu, orang yang membawanya haruslah diri yang sudah beliau percayai diennya.
Beliau juga tidak mahu menerima sesuatu, kecuali dari kedua orang-tuanya atau kerabatnya. Ibunya selalu mengirimkan baju atau pakaian kepadanya. Demikian pula, ayahnya selalu mengirimkan makanan untuknya.
Ketika berada di al-Madrasah ar-Rawahiyyah, Damaskus, beliau hanya mahu tidur di kamar yang disediakan untuknya saja di sana dan tidak mahu diistimewakan atau diberikan fasiliti yang lebih dari itu.
 
·         Menasihati Penguasa dalam Rangka Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Pada masanya, banyak orang datang mengadu kepadanya dan meminta fatwa. Beliau pun dengan senang hati menyambut mereka dan berupaya seoptimal mungkin mencarikan solusi bagi permasalahan mereka, sebagaimana yang pernah terjadi dalam kes penyegelan terhadap kebun-kebun di Syam.
Kisahnya, suatu ketika seorang sultan dan raja, bernama azh-Zhahir Bybres datang ke Damaskus. Beliau datang dari Mesir setelah memerangi tentara Tartar dan berhasil mengusir mereka. Saat itu, seorang wakil Baitul Mal mengadu kepadanya bahawa kebanyakan kebun-kebun di Syam masih milik negara. Pengaduan ini membuat sang raja langsung memerintahkan agar kebun-kebun tersebut dipagari dan disegel. Hanya orang yang mengakui kepemilikannya di situ saja yang diperkenankan untuk menuntut haknya asalkan menunjukkan bukti, iaitu berupa sijil kepemilikan.
Akhirnya, para penduduk banyak yang mengadu kepada Imam an-Nawawi di Dar al-Hadits. Beliau pun menanggapinya dengan langsung menulis surat kepada sang raja. Sang Sultan gusar dengan keberaniannya ini yang dianggap sebagai sebuah kelancangan. Oleh kerana itu, dengan serta merta dia memerintahkan bawahannya agar memotong gaji ulama ini dan memberhentikannya dari kedudukannya. Para bawahannya tidak dapat menyembunyikan kehairanan mereka dengan menyeletuk, “Sesungguhnya, ulama ini tidak memiliki gaji dan tidak pula kedudukan, paduka !!”.
Menyedari bahawa hanya dengan surat saja tidak mampan, maka Imam an-Nawawi langsung pergi sendiri menemui sang Sultan dan menasihatinya dengan ucapan yang keras dan pedas. Rupanya, sang Sultan ingin bertindak kasar terhadap diri beliau, namun Allah telah memalingkan hatinya dari hal itu, sehingga selamatlah Syaikh yang ikhlas ini. Akhirnya, sang Sultan membatalkan masalah penyegelan terhadap kebun-kebun tersebut, sehingga orang-orang terlepas dari bencananya dan merasa tenteram kembali.
Wafatnya

Pada tahun 676 H, Imam an-Nawawi kembali ke kampung halamannya, Nawa, setelah mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya dari badan urusan Waqaf di Damaskus. Di sana beliau sempat berziarah ke kuburan para syaikhnya. Beliau tidak lupa mendo’akan mereka atas jasa-jasa mereka sambil menangis. Setelah menziarahi kuburan ayahnya, beliau mengunjungi Baitul Maqdis dan kota al-Khalil, lalu pulang lagi ke ‘Nawa’. Sepulangnya dari sanalah beliau jatuh sakit dan tak berapa lama dari itu, beliau dipanggil menghadap al-Khaliq pada tanggal 24 Rajab pada tahun itu. Di antara ulama yang ikut menyalatkannya adalah al-Qadhy, ‘Izzuddin Muhammad bin ash-Sha`igh dan beberapa orang shahabatnya. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan menerima seluruh amal shalihnya. Amin.

(Diambil dari pengantar kitab Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyadh ash-Shalihin karya DR. Musthafa Sa’id al-Khin, et.ali, Jld. I, tentang biografi Imam an-Nawawiy)

Senin, 10 Oktober 2011

TOHAROH


Thoharoh (bersuci) dalam segi bahasa berarti membersihkan diri. Pengertian thoharoh dalam syari’at, ada beberapa definisi dari beberapa Ulama. Salah satunya mengatakan, thoharoh adalah “suatu yang dapat memperbolehkan kita melakukan shalat”, seperti wudhu, mandi junub, tayamum, dan menghilangkan najis.
Air adalah alat yang digunakan untuk bersuci. Firman Allah Swt, surat albaqoroh, ayat.48:
وأنزلنا منالسماء ماء طهورا
Telah aku turunkan air yang suci dari langit
Air yang dapat digunakan untuk bersuci ini ada tujuh macam: Air hujan, air laut, air tawar, air sumur, mata air/air suber,  air salju, dan air embun.
Dari segi hukum air terbagi menjadi empat:
1.      Thohir mothohir : Air suci dan dapat mensucikan atau disebut air mutlak
Yaitu : air yang  tidak bersandaran dengan nama lain, karena adanya campuran yang dapat merubah sifat air tersebut. Seperti air teh, air susu, air kopi, dan sebagainya. Namun apabila hanya beberapa tetas saja yang masuk ke dalam air dan tidak merubah sifat-sifat air maka dihukumi suci mensucikan.
2.      Thohir  makruhu isti’maluhu:
Air suci namun makruh digunakan untuk badan namun tidak makruh jika pada pakaian. Adalah air yang dipanaskan dibawah sinar matahari di dalam wadah yang dapat berkarat, karena ditakutkan adanya penyakit belang . Namun apabila air tersebut sudah dingin maka hukum makruh pun hilang.
Imam Nawawi berpendapat tidak makruh. Sebagian Ulama’ mengatakan hadist ini dhoif.
sabda rosulullah saw :
عن عائشه رضىالله عنها سخنت ماءفىالشمس فقال صلىالله عليه وسلم لها لاتفعلى يا حميراءفإنه يورث البرص.
” Dari A’isya ra. Sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari, maka Rosulullah saw berkata padanya, ” janganlah engkau berbuat demikian, ya Khumairo, sesungguhnya air yang di jemur itu dapat menimbulkan penyakit belang.” ( HR. Baihaqi ).
Imam Nawawi juga mengatakan hadits ini dhoif, maka beliau juga berpendapat air yang dipanaskan dengan sinar matahari tidak makruh.
3.      Thohir ghoiru muthohir : Air suci namun tidak dapat mensucikan. Contohnya. Air musta’mal.
Karena para sahabat ra. Mereka tidak pernah mengumpulkan air musta’mal digunakan bersuci dalam perjalanan walaupun keadaan air sedikit, bahkan para shabat memilih melakukan tayamum.
Maksudnya air musta’mal, yaitu, air bekas digunakan untuk bersuci atau menghilangkan najis, walaupun air tersebut tidak berupah sifatnya (tidak berubah warna, bau, dan rasanya).
Atau air yang sudah berubah salah satu sifatnya. Karena bercampur dengan perkara suci lain. Baik perubahannya indrawi (terlihat mata) ataupun tidak, seperti air yang tercampur dengan yang sama sifatnya, contoh: air yang bercampur dengan minyak mawar. Apabila air kemasukan kayu misalnya, maka air tetap suci karena kayu tidak bercampur dengan air.
Dikecualikan, air yang berubah sifat-sifatnya dikarenakan proses yang alami, seperti air yang bercampur dengan debu sehingga merubah warna air menjdi coklat, contoh: air sungai. Ataupun air yang lama didiamkan sehingga warna menjadi hijau atau warna yang lain, karena bercampur dengan semacam daun, akar-akaran atau yang lainnya. Maka perubahan sifat air seperti ini tetap dihukumi suci.
4.      Air terkena najis (Mutanajis).
Dalam hal ini keadaan air terbagi menjadi dua:
a.      Air yang kurang dari dua qullah: Ketika bercampur dengan najis atau yang kena najis walaupun hanya sedikit dan tidak merubah sifat air maka akan menjadi mutanajis.
Dikecualikan, air yang kejatuhan bangkai hewan yang tidak mengalir darah pada tubuhnya, ketika kulitnya disobek, seperti lalat, jankrik, dll. Selama tidak tidak sengaja dimasukkan ke air,  dan tidak merubah sifat air. Namun apabila sengaja dijatuhkan maka hukumnya najis, karena pada dasarnya bangkai itu najis.
b.      Air  banyak yang mencapai dua qullah.
Jika sudah mencapai dua qullah, maka tidak menjadi najis jika kemasukan najis selama sifat-sifat air tidak berubah. Karena ada hadits yang diriwayatkan Abu Dawut dengan sanad shohih:
إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل الخبث
“Ketika air mencapai dua kulah maka tidaklah membawa najis”
Maksudnya. Air yang mencapai dua qullah menolak najis.
Ukuran dua qullah standar internasional kira-kira 60 cm x 60 cm x 60 cm.  Ya,  jadi ukuran air 2 qullah adalah volume air dalam bak yang berukuran panjang = 60 cm,  lebar = 60 cm dan tinggi = 60 cm.  Karena ukuran tiap bak seseorang berbeda,  maka yang dijadikan patokan adalah volume bak tersebut harus sama,  yakni sekitar 60 cm x 60 cm x 60 cm = 216000 cm kubik atau 216 liter.  Jadi ukuran bak boleh berbeda yang penting volume bak minimal 216000 cm kubik bisa disebut air 2 qullah.
Namun apabila air dua qullah bercampur dengan perkara jajis sampai merubah sifat-sifat air maka dihukumi najis. Karena hadits dari Ibnu Majah:
الماء لاينجسه شيء الا ما غلب على ريحه وطعمه ولونه
Air tidak menjadi najis kecuali bercampur dengan perkara yang merubah aroma, rasa, atau warna air.



Wallahu a’lam Bish Showab