TERBARU

Senin, 22 Agustus 2011

Mengapa Bermadzhab?

TAQLID dalam Syari’at Islam artinya MENGIKUT. Kalau saya katakan: “Saya bertaqlid dengan madzhab Syafi’I”, maka itu artinya “Saya mengikuti madzhab Syafi’i”.

Mengikut atau Taqlid, bukan berarti harus mengetahui dalil-dalil yang didapat oleh Imam-imam Mujtahid, namun akan lebih baik jika kita mengetahui dalilnya pengambilannya, yakni dari mana Qurannya, dari mana haditsnya, namun tidak jelek pula yang kita ketahui hanya fatwa-fatwanya saja.

Bertaqlid itu baik bahkan, tertulis dalam kitab-kitab Fiqh dengan terang. Bahkan Ulama-ulama dahulu bangga jika dikatakan bertaqlid kepada salah satu Imam Mujtahid. Dan dengan bangga pula mereka menggandengkan nama Imam Mujtahid sebagai tempat bertaqlid di belakang namanya sendiri.

Misalnya pengarang tafsir Albaghowi menuliskan namanya Imam Al-Jalil Muhyis Sunnah Abi Muhammad al Husein bin Mas’ud al farra’ al Baghawi As Sayafi’I (wafat: 516 H)
Pengarang tafsir Ibnu Katsir Imam Imamuddin Abdul Fida’, Ismail Ibnu Katib Abu Hafsah Umar bin Katsir As Syafi’I (wafat: 774 H)
Pengarang tafsir Jamal Imam Sulaiman bin Umar al Ujaili as Syafi’I (wafat: 1204 H). dll.

Pembagian Manusia
Manusia ini dalam kenyataannya terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Yang ‘alim besar, yang ilmunya sudah tinggi, sudah sampai pada derajat Imam Mujtahid mutlak.
2. Yang berilmu, tetapi ilmunya masih kurang, tidak sampai pada derajat Imam Mujtahid. Seperti halnya para Kyai, Ustadz, guru-guru, Mu’alim, dan gelar-gelar yang lain.
3. Golongan ketiga yang paling banyak, yaitu rakyat yang terdiri dari kaum tani, buruh, pekerja kantoran yang tidak tahu agama, tukang batu, pengamen, dan lain sebagainya.
Golongan ketiga ini biasa diistilahkan sebagai orang awam

Jika dianalogikan seorang ada yang tamatan Universitas Kedokteran sampai spesialis, ahli bedah kepala, ahli jantung, ahli saraf, hingga sampai dinamakan profesor. Namun ada juga yang tamatan akademi kesehatan yang sedang-sedang saja ilmunya. 

Semisal ada seorang sakit perut, nah kemanakah ia harus memeriksakan diri?. ke petanikah?, ke tukang pos kah? Ato ke dokter?. Pun jika ke dokter, masih ada dokter spesialis. Kemanakah ia akan memeriksakan diri, apa ke dokter spesialis mata, ato spesialis penyakit dalam?. Masing-masing mempunyai keahlian sendiri dalam keilmuan.

Jika demikian, kalau ada yang mengatakan haram hukumnya bertaqlid pada Ulama ini adalah PENDAPAT YANG BATIL. Kita mencoba untuk berfikir realistis, Sanggupkah seorang petani, tukang batu, pegawai kantor pos, misalnya mengambil hukum-hukum ‘ubudiyah, amaliah, waqi’iyah dari Quran dan Hadits langsung, sedangkan mereka tidak tahu bahasa arab sepatahpun?, tentu saja tidak. 

Seperti yang kita bahas sebelumnya, bahwa setiap manusia memiliki keahlian dibidang masing-masing. Maka jika tidak tahu, harus bertanya pada orang yang ahli dibidangnya. Bolehkan orang yang sakit mengikuti anjuran dokter?, tentu boleh. Tidak bolehkan seorang mengikuti anjuran atau pendapat Ulama? Tentu saja boleh bahkan sangat diperintahkan. Allah Swt berfirma:
فسئلوا أهل الذكر إنكنتم لاتعلمون (النحل 43)
Artinya: Maka bertanyalah kepada ahli ilmu, kalau kamu tidak tahu (An Nahl: 43)
Ayat ini memerintahkan jika tidak tahu untuk bertanya kepada ahli ilmu. Tentu saja setelah diberi pengetahuan, maka itu akan menjadi pegangan dan diikutinya, Maka inilah yang dikatakan ber Taqlid.

Firman Allah Swt:
وما كان المؤمنون لينفروا كافة . فلو لا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا فى الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون. (التوبة 122)
Artinya: tidak sepatutnya orang-orang yang beriman itu berangkat semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Jelas dalam ayat ini, bahwa sebagian dari kita diperintahkan untuk mencari ilmu. Dalam Tafsir Jalalain dikatakan, maksudnya: فى الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم sesudah ilmu didapat harus pulang kembali kepada kaumnya untuk memberikan pelajaran tentang hukum-hukum agama. Kemudian: لعلهم يحذرون supaya mereka dapat menjaga dirinya untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah Swt. Jadi sebagian masyarakat yang lain diperintahkan untuk mengikuti orang yang berilmu, itulah yang dinamakan taqlid.

Nabi Muhammad Saw, bersabda:
باللذين من بعدى أبى بكر وعمر (رواه أحمد والترمذى وابن ماجة)إقتدوا
Artinya: “Ikutilah dua orang sesudahku, yaitu Abu Bakar dan ‘Umar”
Nabi Saw, memerintahkan untuk mengikuti Abu Bakar dan ‘Umar. Tentu saja ini juga dinamakan taqlid.

Sabda Nabi:
ورثت الأنبياء. (رواه أبو داود)العلماء
Artinya: “Ulama-ulama adalah pewaris para Nabi”
Disini kita diperintah untuk mengikuti para Ulama yang pada perinsipnya adalah sebagai Pewaris Nabi.

Ulama-ulama besar yang bertaqlid Madzhab
Pada zaman sahabat Nabi, tidak ada yang berani menjadi mujtahid kecuali hanya kira-kira 130 orang. Sedang yang lain hanya menyampaikan hadits-hadits dan menyampaikan hukum ijtihad orang lain, tidak berani berijthad sendiri. Pada zaman Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in pun tidak banyak yang sampai pada derajat Mujtahid, paling banyak hanya sekitar 10 orang.
Seluruh Ulama tidak ada yang meragukan lagi dengan keilmuan yang dimiliki oleh Imam Ghozali, Imam Bukhori seorang ahli hadits yang terkenal dengan karangannya Shahih Bikhori, Imam Nawawi. Beliau-beliau ini tidak berani menyatakan diri sebagai seorang Mujtahid Mutlak , bahkan beliau ini masih mengatakan taqli kepada Imam Syafi’i.
Imam Rofi’I seorang Ulama abad VII H, berkata: “orang-orang tamaknya sudah sepakat bahwa tidak ada lagi Imam Mujtahid pada waktu sekarang”, Imam Ghozali mengatakan dalam abad VI: “sesungguhnya tidak berisi zaman ini dengan Mujtahid Mutlak”.

Berkata Imam Ibnu Daqiqi’id pada abad VII H: “tidak ada zaman yang kosong dari Imam Mijtahid”, berkata Abu Ishak Sirazi pada permulaan abad IV H: “Tidak boleh satu masa kosong dari Imam Mujtahid.
Perlu diketahui, bahwa Ulama-ulama yang berpendapat di atas semuanya bermadzhab Syafi’i. Beliau-beliau berselisih tentang ada tidaknya Imam Mujtahid yang baru. Namun tidak melarang seorang untuk menjadi Mujtahid. Hanya melihat kenyataan kemampuan keilmuan pada zaman itu sangat tidak memungkinkan untuk menjadi seorang Mujtahid. Jika demikian, bagaiman dengan zaman sekarang?, Wallahu ‘Alam Bis Sowab.

Contoh kasus orang-orang yang menolak bermadzhab
1. Ada cerita menarik. Pada zaman Khalifah Al Mutawakil (822-861 H). seorang wanita menyatakan diri sebagai Nabi. Kemudian di panggil ia menghadap Khalifah untuk klarifikasi. Khalifah Mutawakil bertanya: “Enkau Nabi?”, “Ya tuanku” jawab si wanita. “”nkau tidak percaya kepada Nabi Muhammad Saw, bahwa tidak ada lagi Nabi sesudah Nabi Muhammad?”. Wanita itu menjawab “Percaya tuanku, akan tetapi yang dimaksud perkataan “Nabiya” itu adalah Nabi laki-laki, sedangkan saya adalah Nabi Perempuan”.
Medengar jawaban wanita ini, Khalifah Al Mutawakil tertawa dan membebaskanya karena dianggap sinting/gila.
2. Adalagi juga pada zaman Khalifah Al Mutawakil, serorang laki-laki mengaku menjadi Nabi. Ditanya oleh Khalifah “Apa bukti dalam alquran bahwa kau adalah seorang Nabi”, orang itu menjawab: “Ayat Tuhan dalam surat An Nasr”, katanya:
إذا جاءنصرالله والفتح
Artinya: apabila datang nashrullah dan kemenangan.
“Nama saya Nashrullah” katanya.
Khalifah Al Mutawakil jadi bingung mendengar Nabi palsu berdalil dengan alquran.
3. Ada juga orang yang mengatakan beristeri boleh sampai 18 isteri, ia juga mengambil dalil Alquran. Ada lagi yang mengatakan, kalau Nabi Muhammad hidup di jaman sekarang tentu beliau akan menghalalkan riba, karena negara tak akan hidup tanpa Bank yang pakai riba. Fatwa yang aneh lagi, berbuka puasa dengan kolak hukumnya bid’ah, Shilatir Rahim minta maaf pada saat Idul Fitri bid’ah, berdzikir bid’ah, dan tuduhan bid’ah yang lain akibat tidak adanya tendensi yang jelas dari Ulama-ulama ahli ilmu hanya mangandalkan pemahaman sendiri yang dangkal.
Dan banyak lagi kasus yang lain, namun untuk supaya tidak jenuh dalam membaca karena terlalu panjang kita cukupi sekian.

Kesimpulan
Apabila seorang tukang Pos, buruh pabrik, atau bahkan dokter gigi sekalipun ingin melakukan operasi katarak. Kira-kira apa yang akan terjadi?, tentu saja bukannya sembuh, justeru malah semakin parah atau mungkin mengakibatkan kebutaan atau bahkan kematian. walaupun mereka sudah membaca buku tentang itu berulang kali sampai hafal.
Seorang yang belum bisa nyetir mobil, tapi berkeras hati untuk nyetir mobil sendiri, maka yang terjadi adalah ia akan mengalami kecelakaan atau masuk jurang. Yang lebih baik kalau belum pandai menyetir mobil, duduk sajalah dibelakang, serahkan setir pada ahlinya. Insya Allah akan lebih selamat.
Akan lebih baik dan lebih aman jika belum mampu menggali sendiri hukum dari Alquran dan Hadits, agar mengikuti fatwa Imamnya yang ahli. Jika berdakwah boleh mengambil dari Alquan dan Hadits namun dalam penjelasannya haruslah dari Ahli Tafsir ataupun ahli Hadits, bukan ditafsir dengan pendapatnya sendiri. Ini adalah jalan yang paling aman. Wallahu ‘alam bis showab.
Sekian!!!

NB: Untuk penjelasan Imam Madzhab, menurut Ahlus Sunah wal Jamaah, harus sesuai dengan salah satu dari 4 madzhab akan di jelaskan lebih lanjut di waktu akan datang, insya Allah.

Selasa, 16 Agustus 2011

HAKIKAT HADIAH PAHALA

Pada hakekatnya setiap muslim yang berakal-baligh akan mendapatkan pahala/ganjarang dari setiap amal perbuatan yang ia lakukan. Baik berupa sedekan, sholat, puasa, haji, dll. Tentang hal ini Umat Muslim sepakat karena banyak sekali ayat-ayat Alquran dan hadits yang menjelaskan tentang ini. Diantaranya:
فمن يعمل مثقال ذرة خيرايرة (الزلزلة: 7)
Artinya: maka barang siapa mengerjakan kebaikan setimbang zarrah (yang kecil) niscaya ia akan melihat (mendapat) pahalanya.
Ayat ini menyatakan bahwa setiap orang yang mengerjakan kebaikan walaupun sebutir zarrah ataupun sekecil debu maka ia akan mendapatkan pahala melihat amal perbuatannya itu.
Nah pahala yang sudah didapat oleh orang yang mengmalkan apakah boleh dihadiahkan kepada orang lain, Baik yang masih hidup ataupun dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal? Kaum Ahlus Sunah Waljama’ah beri’tiqad bahwa itu boleh dilakukan dan orang yang melakukan itu akan mendapat faedah di akhirat.
Dalam kitab hadits Abu Dawud:
كان صلى الله عليه وسلم إذا فرغ من دفن الميت وقف عليه فقال: إستغفروا لأخيكم وسلوا له التثبيت فإنه الأن يسأل. (رواه ابو داود)
Artinya: “adalah Nabi Muhammad Saw, ketika telah selesai menguburkan mayat beliau berdiri sebentar dan berkata: minta ampunkanlah kalian (kepada tuhan) untuk saudaramu ini dan mohonkanlah agar dia menetapi, karena sekarang ia sedang ditanya”. (H. Riwayat Abu daud, lihat Sunan Abu Daud, juz III, pagina 215).
Hadits ini memberikan pengertian bahwa doa orang yang masih hidup berfaedah kepada orang yang sudah meninggal.
H. Riwayat Imam Tirmidzi
عن ابن عباس أن رجلا قال يا رسول الله ان أمى توفيت أفينفعها ان تصدكت عنها؟ قال نعم, قال: فإن لى مخرفا فأشهدك أنى قد تصدكت عنها.
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, bahwa seorang pria bertanya kepada Nabi Muhammad Saw: Ya Rasulullah, bahwasanya Ibu saya telah meninggal, adakah bermanfaat untuknya kalau saya bersedekah/berwakaf menggantikannya?. Jawab Rasulullah: Ya na’am. Lalu orang itu berkata: bawasanya saya mempunyai sebuah kebun, dan saya minta kesaksian tuan bahwa kebun saya itu telah saya sedekahkan/wakafkan untuk ibu saya” (H. Riwayat Imam Tirmidzi, lihat shahih Tirmidzi juz III, pagina 175)
Hdaits Imam tirmidzi:
عن حنش عن غلى أنه كان يضحى بكبشين أحدهما عن النبى صلى الله عليه وسلم والأخر عن نفسه, فقيل له, فقال: أمرنى به يعنى النبي صلى الله عليه وسلم فلا أدعه ابدا.
Artinya: “dari Hanasy, bawasanya sayidina Ali Kw. Berkorban dengan dua ekor kibasy, satunya (pahalanya) untuk Nabi Muhammad Saw, yang kedua (pahalanya) untuk diri sendiri beliau, maka orang bertanya kepadanya tentang ini. Beliau menjawab: demikian itu disuruh Nabi kepada saya, karenanya saya melakukan selalu dan tidak pernah meninggalkannya.” (hadits riwayat Imam Tirmidzi. Lihat shahih Tirmidzi juz VI, pagina 219.)
Jelas sekali bahwa di dalam hadits ini, Nabi Muhammad Saw, memerintahka kepada shahabat Ali Kw, dan sahabat Ali Kw, melakukannya dan tidak pernah meninggalkannya.
Hadits riwayat Ibnu Abbas dari Nabi SAW :
أَنَّهُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذَّبَانِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا بِنِصْفَيْنِ ثُمَّ غَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ صَنَعْتَ هَذَا فَقَالَ لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Artinya : Nabi SAW pernah melewati dua buah kuburan, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya dua mayat ini sedang disiksa, namun bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak membersihkan dirinya dari air kencingnya, sedang yang lainnya ia dahulu suka mengadu domba”. Kemudian beliau meminta pelepah kurma yang masih basah dan dibelahnya menjadi dua. Setelah itu beliau menancapkan salah satunya pada sebuah kuburan dan yang satunya lagi pada kuburan yang lain seraya bersabda: “Semoga pelepah itu dapat meringankan siksanya, selama belum kering”.(H.R. Bukhari 19 dan Muslim 20)

Al-Qurthubi mengatakan :
“Ulama kita mengatakan, kalau kayu saja dapat meringankan azab kubur (bermanfaat kepada mayat), maka apalagi bacaan al-qur’an yang dilakukan oleh seorang mukmin?.”21
Menghadiahkan pahala kepada mayat termasuk sadaqah, karena sadaqah tidak hanya dalam bentuk harta. Sadaqah bisa saja dalam bentuk tahlil, tasbih dan lainnya. Sedangkan sadaqah dapat bermanfaat bagi mayat dengan ijmak ulama sebagaimana dijelaskan di atas. Keterangan bahwa sadaqah tidak hanya dalam bentuk harta adalah hadits Nabi SAW riwayat Huzaifah berbunyi :
كل معروف صدقة
Artinya : Setiap yang ma’ruf adalah sadaqah (H.R. Muslim) 22

Dan hadits Nabi SAW riwayat Abu Zar berbunyi :
ان بكل تسبيحة صدقة وكل تكبيرة صدقة وكل تحميدة صدقة و كل تحليلة صدقة
Artinya : Sesungguhnya setiap tasbih adalah sadaqah, setiap takbir sadaqah, setiap tahmid sadaqah dan setiap tahlil adalah sadaqah. (H.R. Muslim) 23

Pendalilian ini telah disebut oleh al-Qurthubi dalam al-Tazkirah 24
Sabda Nabi SAW :
من دخل المقابر فقرأ سورة يس خفف عنهم له مثله وكان له لعدد من فيه حسنات
Artinya : Barang siapa yang memasuki pekuburan dengan membaca Surat Yasin, maka akan diringankan orang dalam pekuburan itu sebanding dengannya dan baginya sejumlah kebaikan (H.R. Abu Bakar Abdul Aziz) 26
Sabda Nabi SAW :
من زار قبر والديه كل جمعة أو أحدهما فقرأ عندهما يس والقرآن الحكيم غفر له بعدد كل آية وحرف
Artinya : Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua ibu bapaknya atau keduanya pada setiap Jum’at dengan membaca Yasin dan al-Qur’an al-Hakim, maka akan diampuninya sebanding setiap ayat dan huruf.(H.R. Ibnu Hibban dan Ibnu ‘Ady) 27
Tersebut dalam hadits Abu Dawud:
عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم. سمع رجلا يقول: لبيك عن شبرمة, قال:من شبرمة؟ قال: أخ لى" قال: أحججت عن نفسك, قال: حج عن نفسك ثم حج عن شبرمة.
Artinya: “dari Ibnu Abbas , bahwasanya Nabi Muhammad Saw, mendengar seorang laki-laki membaca talbiyah (dalam ibadah haji), “Labbaika ‘an Syubrumah”” (Tuhan, saya berkanankan seruanmu untuk mengganti Syubrumah). Lantas Nabi bertanya kepada orang itu: siapa Subrumah itu?. Jawabnya: saudara (karib) saya. Apakah engkau sudah megerjakan haji untuk mu? Tanya Nabi. “belum”, jawabnya.
Nabi berkata: hajilah dulu untuk dirimu, kemudian baru menghajikan Subrumah”. (H. Riwayat Abu Dawud. Lihat sunan Abu Dawud juz II, pagina 162)
Hadits ini menyatakan bahwa ibadah haji seseorang boleh digantikan orang lain, tentu jika yang bersangkutan ada uzur, umpamanya sudah terlalu tua, ataupun sudah wafat.
Hadits ini bukan menerangkan antara bapak dan anak, atau antara anak dan ibu, tetapi menerangkan antara hubungan serorang dengan karib kerabatnya (orang lain).
Dalil doa bermanfat bagi mayat antara lain firman Allah Ta’ala :
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
Artinya : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami (Q.S.Al-Hasyr: 10)
 Tersebut dalam hadits Muslim.
Bahwasanya ketika Nabi Muhammad Saw ketika akan berkorban dua ekor kibasy putih, barniat bagini:
بسم الله اللهم تقبل من محمد وال محمد ومن أمة محمد ثم ضحى به.
Artinya: “Dengan nama Allah! Ya Allah terimalah (korbanku) dari Muhammad, dari keluarga Muhammad, dan dari Ummad Muhammad” (H.riwayat Imam Muslim, lihat Shahih Muslim Juz XIII, pagina 122).
Jelas dalam hadits Muslim yang shohih ini, Nabi Muhammad Saw berkorban yang pahalanya untuk beliau, dan diberikan untuk keluarga beliau dan untuk seluruh umat beliau.
Mengenai hadits di atas pengarang kitab Bariqatul Muhammadiyah berkata:
Artinya: ” Nabi Muhammad Saw, memberikan pahala kepada umat beliau, ini berarti pelajaran dari Nabi bahwa amalan orang lain dapat memberi manfaat kepada orang lain. Mengikut ajarang dan petunjuk Nabi Muhammad Saw, ini adalah suatu perpegangan dengan tali yang teguh” (Bariqatul Muhammadiyah, juz II, pagina 99- cetakan Mustafa Babil Halabi 1348H.)
Orang yang membantah
Sedangkan orang2 yang membantah biasanya menggunakan dalil ini:
Artinya: “dan bahwasanya manusia tidak akan mendapat (pahalanya) melainkan dari usaha yang yang telah diusahakannya” (surat An Najm, ayat 39)
Inilah akibatnya jika seorang hanya belajar lewat terjemah sehingga menggunakn dalil semaunya sendiri.
Ayat ini menerangkan hukum yang terjadi pada syari’at Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum yang terjadidalam syari’at Nabi Muhammad Saw. Dalam mengajukan harus jujur, jangan mengambil dalil sepotong-potong.
Pangkal ayat ini berbunyi seluruhnya:
Artinya: “Atau belumkah dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab-kitab Nabi Musa dan Kitab Nabi Ibrahim yang memenuhi kewajibannya, bahwa tiada yang dapat memikul seseorang akan dosa orang lain, dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain yang mengusahakan” (An Najm : 36-39)
Jelas dalam susunan ayat ini bahwa hukum itu berlaku pada syari’an Nabi Musa As dan Nabi Ibrahim As.
Berkata ahli tafsir Khazim:
Artinya: “adalah yang demikian ituuntuk kaum Ibrahim dan Musa, dan adapun bagi Umat sekarang maka mereka bisa mendapat pahala dari usahanya dan dari usaha orang lain” (lihat tafsir Khazim jilid VI, pahgina 223)
Dan berkata sahabat Nabi, ahli tafsir yang utama Ayat ini menurut riwayat dari Ibnu Abbas sudah dinasakh dengan
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
Artinya : Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka (Q.S. al-Thuur : 21)
Ada sebagian orang menentang tahlil atau samadiyah dengan berargumentasi dengan hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, yang berbunyi :
إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
Artinya : Apabila meninggal seorang manusia, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang mau berdo’a untuknya. (H.R. Muslim) 28

Perlu dicatat bahwa hadits ini hanya membicarakan amalan orang yang sudah meninggal. Sedangkan tahlil dan samadiyah ini merupakan amalan orang masih hidup, dimana orang yang masih hidup mendo’akan sebagaimana pahala bacaan ayat al-Qur’an didapatinya supaya juga diberikan Allah kepada orang yang sudah meninggal. Berkata Ibnu Shalah dalam Fatawanya :
“Demikian juga hadits tersebut (hadits di atas) tidak menunjukkan batal pendapat yang mengatakan sampai hadiah pahala bacaan, karena hadits tersebut mengenai amalan simati. Sedangkan ini (hadiah pahala) merupakan amalan orang lain” 29

Penafsiran hadits ini secara ringkas adalah sebagai berikut :
a.Seseorang yang sudah meninggal, maka pahala amalannya semua terputus kecuali tiga yang disebut dalam hadits. Yang terputus di sini bukan amalannya, tetapi pahala amalan, karena amalan seseorang apabila dia meninggal akan terputus tanpa kecuali.
b.Tiga yang dikecualikan tersebut adalah amalan orang sudah meninggal, yaitu Pertama, sadaqah jariah, yakni waqaf yang dilakukan pada seseorang masih hidup. Pahalanya terus mengalir meskipun orang itu sudah meninggal. Kedua, ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu yang pernah diberikan kepada orang lain tatkala dia masih hidup akan terus mengalir pahalanya kepada orang tersebut sepanjang ilmu itu masih dimanfaatkan orang. Ketiga, anak yang shaleh mau yang berdo’a kepadanya, yakni anak yang shaleh yang merupakan hasil usaha bimbingannya pada waktu dia masi hidup.
Dengan demikian, jelaslah bahwa hadits ini tidak relevan dengan masalah tahlil atau baca samadiyah. Karena tahlil atau samadiyah merupakan amalan orang yang masih hidup.

Dalil lain yang biasa dibawa oleh orang-orang yang menentang tahlil atau samadiyah adalah Q.S. al-Baqarah : 286, yaitu :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Q.S. al-Baqarah : 268)

Ayat ini hanya menjelaskan kepada kita bahwa setiap orang melakukan sebuah amalan, maka pahala amalannya itu menjadi hak orang yang melakukannya itu. Artinya tidak bisa kita yang melakukan, orang lain yang mendapatkannya. Namun karena ini menjadi hak orang yang melakukan amalan tersebut, maka dapat saja dia menghadiahkannya untuk orang lain dalam pengertian mendo’akan supaya orang lain juga mendapat pahala yang sama dengan pahala yang didapatinya. Ayat ini tidak boleh dipahami bahwa seseorang yang sudah meninggal dunia tidak dapat memperoleh pahala dari amalan orang lain, karena pemahaman seperti itu bertentangan dengan ijmak ulama sebagaimana uraian di atas bahwa telah terjadi ijmak ulama, sadaqah, do’a dan ibadah haji bermanfaat untuk orang yang sudah meninggal.
Ada juga orang yang bernafsu dan beringas mengatakan “bahwa Imam Syafi’I berpendapat bahwa pahala-pahala bacaan ayat sucu Al Quran tidak sampai kepad mayat”.
Dalam kalangan madzhab Syafi’I dan bahkan kalangan umat Islam sepakat bahwa sedekah pahala sampai pada mayat.
Imam Nawawi seorang Ulama Mujtahid Fatwa dalam madzhab Imam Syafi’I mengatakan dalam kitab Syarah Hadits Muslim:
Artinya: “”Barang siapa yang hendak berbuat kebajikan kepada kedua orang tua, ia boleh bersedekah untuk keduanya, dan pahala sedekah itu sapai kepada mayit, dan mayit mendpat manfaat dari padanya, hal ini tidak ada pertikaian antara kaum Muslimin dan inilah pendapat yang benar.” (Syarah Muslim juz I, pagina 89)
Lalu Imam Nawawi sesudah menerangkan ini, lantas menyambung ucapan beliau:
“adapun dikabarkan oleh Qadhi Abu Hasan Al Mawardi dalam kitab Al Hawi, bawa sebagian ahli berpendapat bahwa “seorang tidak akan menerima apa-apa lagi sesudah wafatnya”, maka itu adalah madzhab yang salah, jelas batalnya, karena berlawanan dengan nash-nash kitabullah, sunnah dan ijma’ ummat. Pandapat itu tidak layak untuk diperhatikan”. (syarah Muslim. Juz I. pagina 90).
Diterangkan juga dalam kitab Fathul Mu’in: “Fatwa Imam Syafi’I yang mengatakan tidak sampai itu adalah kalau bacaan itu tidak dilakukan dihadapan mayat, dan pula tidak diniatkan untuk mayat itu, atau ia niatkan tapi tidak dimintakan (di do’akan) kepada tuhan untuk menyampaikannya”
Pemahaman ini berdasarkan amalan yang diriwayat dari Imam Syafi’i, bahwa beliau sendiri pernah berziarah ke makam Imam al-Laits bin bin Sa’ad dan pada saat itu beliau membaca zikir dan al-Qur’an al-Karim. Muhyiddin Abdusshamad telah mengutip riwayat ini dari Kitab al-Dzakirah al-Tsaminah Halaman enam puluh empat 17. Imam Syafi’i sendiri juga pernah menyatakan pendapat yang bersesuaian dengan riwayat di atas, yaitu :
“Dianjurkan membaca sesuatu dari al-Qur’an pada kuburan dan jika dengan khatam, maka itu lebih baik.”18
Tersebut dalam kitab Al Adzkar karangan Imam Nawawi:
Artinya: “berkata Imam Syafi’I dan kebanyakan sahabat-sahabat beiau: sunah membaca ayat-ayat (dari Alquran) dihadapan mayit. Dan jika dibacakan Alquran keseluruhan (sampai khatam) maka akan lebih baik.” (Al Adzkar, pagina 147) Imam Syafi’I mengatakan bahwa sunah membacakan Alquran di hadapan mayat.
Uraian di atas dapat disimpulkan:
1.       Dala madzhab Syafi’I sepakat berfatwa pahala do’a, pahala waqaf, sedekah, dll, dapat dihadiyahkan kepada mayat dan sampai padanya.
2.       Tetapi pahala bacaan ayat suci Alquran , ada fatwa Imam Syafi’I yang mengatakan sampai, dan ada pula perkataan beliau yang mengatakan tidak sampai, tetapi perkataan yang terikhir ini dha’if (lemah) walaupun banyak tersiar.
3.       Kebanyakan shahabat Imam Syafi’I berpegang pada fatwa yang pertama, yaitu sampainya pahala bacaan, sama juga dengan do’a, sedekah, dll. Pendapat inilah yang dipegang dan diamalkan dalam lingkungan madzhab Syafi’I sekarang.
4.       Hadits-hadits Nabi banyak sekali yang mengatakan sampai itu.

Peragaan Shalat Para Malaikat

Muadz bin Jabal dan Jabir bin Abdilah ra,mengisahkan bahwa tatkala Nabi Saw, diperjalankan ke langit pada malam isra’ mi’raj, baliau menyaksikan para malaikat penghuni tujuh langit:
Pada langit pertama, beliau menyaksikan para malaikat terus menerus berdzikir kepada Allah semenjak mereka diciptakan.
Pada langit kedua, beliau menyaksikan para malaikat melakukan ruku’ secara terus-menerus semenjak mereka diciptakan.
Pada langit ketiga, baliau menyaksikan para malaikat bersujud kepada Allah secara terus menerus semenja mereka diciptakan. Pada saat itu baginda Nabi memberikan salam pada mereka, sehingga mereka bangkit dari sujudnya dan menjawab salam Nabi Saw. Sesudah itu mereka sujud hingga tiba hari kiamat kelak. Oleh karena itulah, shalat kita pun melakukan sujud dua kali pada setiap rakaatnya.
Pada petala langit keempat, baliau menyaksikan para malaikat melakukan duduk tasyahud.
Pada lngit kelima, baliau menyaksika para malaikat terus menerus mmembaca tasbih (subhanallah)
Pada langit ke enam, baliau menyaksikan para melaikat terus menerus membaca takbir (Allahu akbar) dan tahlil (laa ilaaha illallah).
Menyaksikan peribadatan malaikat yang begitu menakjubkan ini, dalam hati Nabi Saw, terbersik keinginan: “betapa senang seandainya diriku dan seluruh umatku bisa melakukan peribadatan sebagaimana yang dilakukan para malikat penghuni tujuh langit tersebut.” Allah Maha Tahu. Maka Allah merangkaikan semua gerakan ibadah yang diperagakan oleh para malaikat penghuni tujuh langit unt itu dalam bentuk ibadah shalat, dan Allah Swt akan memuliakan Nabi Saw serta umatnya lantaran mau mengerjakan shalat ini. Allah Swt, berfirman: “Barang siapa yang mengerjakan shalat lima waktu (setiap sehari semalam). Maka ia memperoleh pahala sebagaimana pahala peribadatan yang dilakukan oleh para malaikat penghuni tujuh langit”.*

Penciptaan Malaikat Jibril as

Dikisahkan oleh Rasululah Saw. Dalam sabdanya:
Tatkala Allah Swt, menciptakan malaikat Jibril as, dipilihlah wujud yang paling rupawan. Ia dilengkapi dengan enam ratus sayap, masing-masing sepanjang jarak antara penjuru paling timur dengan penjuru paling barat. Begitu penciptaan selesai, berdirilah malaikat Jibril memandangi bentuk dirinya yang rupawan, seraya berkata: “Ya Allah, ya tuhanku, adakah engkau menciptaka mahluk yang lebih tampan dari padaku?” Allah menjawab: “Tidak”
Mendengar jawaban Allah seperti itu perasaan Jibril berbunga-bunga. Dan sebagai ungkapan rasa syukurnya yang mendalam, dia mengerjakan shalat dua rakaat, yang setiap rakaatnya dilakukan selama 20.000 (dua puluh ribu)tahun. Setelah selesai mengerjakan shalat, Allah Swt berfirman kepadanya: “Hai Jibril, begitu bersungguh-sungguh engkau melakukan shalat. Dengan begitu engkau telah menyembahkan kepada-Ku dengan penyembahan yang tiada bandingnya. Tetapi ketahuilah hai Jibril, bahwa pada akhir zaman nanti aka lahir seorang nabi terhirmat yang amat aku kasihi! Dia bernama Muhammad. Dia memiliki umat yang lemah dan banyak melakukan dosa. Sekiranya umat yang bergelimang dosa itu mau mengerjakan shalat dua rakaat. Sekalipun shalatnya banyak kekurangan, waktunya pun tergesa-gesa dan tidak kosentrasi, maka demi kemulian dan keagungan-Ku, sungguh shalat mereka itu lebih aku sukai daripada shalatmu! Mengapa? Karena shalat mereka berdasarkan perintah-Ku, sedangkan shalatmu itu bukan berdasarkan perintah-Ku”
Jibril : “Ya tuhanku, lalu apakah balasan yang bakal Engkau berika atas ibadah mereka?”
Allah : “Balasan yang bakal aku berikan adalah surga Ma’wa”
Begitu mendengar surga Ma’wa, Jibril memohon kepada Allah Swt, agar diperkenankan melihatnya, maka Allah pun mengabulkan permohonan Jibril ini, sehingga ia berngkat menuju surga tersebut. Dia bentangkan seluruh sayapnya, lalu terbang untuk menempuh jarak yang jauh tak terperikan. Setiap kali ia membuka sepasang sayapnya, maka berhasil melintasi jarak sejauh 300.000 (tiga ratus ribu) tahun perjalanan. Begitu juga setiap menutup sayap. Padahal ia terbang selama 300(tiga ratus) tahun, serta memiliki 300 (tiga ratus) pasang sayap atau 600 (enam ratus) buah. Namun sejauh itu dia belum berhasil mencapai tujuan. Setelah merasa begitu letih, dia pun beristirahat di bawah sebatang pohon waksasa. Dia bersujud kepada Allah Swt, seraya mengadu: “Ya Allah, apakah perjalananku ini telah mencapai separonya atau kah baru dua pertiga atau bahkan seperempatnya?” Allah Swt, berfirman kepadanya: “Hai Jibrill, kalaupun kau mampu terbang selama 300.000 tahun, dengan menggunakan sayap-sayapmu yang sudah ada dan aku tambah lagi sejumlah 600 (enam ratus) sayap, niscaya tidak akan mencapai seperseratusnya (1%) itulah keistimewaan yang aku berikan kepada umat Muhammad yang mau mengerjakan shalat.”*

ZUHUD

Zuhud dalam segi bahasa adalah kebalikan dari “suka/senang”, atau bisa diartikan Zuhud adalah “Benci”. Jika dikatakan “Seseorang zuhud akan sesuatu” maka bisa diartikan: “seseorang itu membeci sesuatu”. Secara hakikat arti Zuhud adalah, “memalingkan rasa suka atau cinta sesuatu terhadap perkara yang lebih baik/lebih beranfaat”.
Syarat barang/perkara yang disenangi adalah barang atau perkara yang biasa disukai oleh khalayak manusia. Jadi, apabila sesorang tidak menyukai batu, pasir, atau tidak suka rumput, maka tidak bisa dikatakan sebagai zahid (orang zuhud), karena barang-barang ini bukan keumuman orang untuk disenangi. Namun apabila seseorang tidak menyukai harta, benda-benda berharga maka bisa dikatakan sebagai Zahid.
Dasar kesenangannya adalah, apabila seseorang menganggap benda ini lebih baik dari benda yang lain sehinga menimbulkan rasa cinta dalam dirinya. Maka apabila dunia dijual dan diganti dengan akhirat, maka dikatakan “Zuhud dunia”, sebaliknya, apabila akhirat dijual diganti dengan dunia maka dikatakan “zuhud akhirat”. Sedangkan yang terlaku adalah mengkhususkan istilah Zuhud kepada orang yang “Membenci dunia dan memilih untuk mencintai akhirat.”
Banyak hadits yang menjelaskan masalah zuhud, diantaranya, diriwayatkan oleh Baihaki dalam kitab Syu’bul Iman.dari Rasulullah Saw, Rasulullah besabda:
ما زهد عبد فى الد نيا إلا انبت الله الحكمة فى قلبه وانطلق بها لسانه و بصره عيب الدنيا ودواؤها وأخرجه منها سالما الى دارالسلام
“tidak ada seorang hamba yang zuhud dunia kecuali Allah Swt, akan menumbuhkan hikmah di dalam hatinya dan akan terucap (hikmah) didalam lisannya, dan Allah akan memperlihatkan kehinaan dunia dan obatnya. Dan Allah akan mengeluarkan dari dunia dengan selamat menuju surga (Darus Salam)”
Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad, berkata Rasulullah Saw:
الزهد فى الدنبا راحة القلب والبدن والرغبة فى الدنبا تطيل الهم والحزن وما قصر عبد فى طاعة الله الا ابتلا الله بالهم
“Zuhud dunia itu menenangkan hati dan badan, dan mencintai dunia itu memperpanjang rasa susah. dan seorang hamba tidak sembrono dalam tho’at kepada Allah Swt kecuali Allah Swt, akan mencobanya dengan kesusahan”
Ada syair yang mengatakan:
Zuhudlah, dengan meniadakan ketergantungan hatimu dari mencintai harta dunia
bukan berarti kau tidak mempunyai harta dunia, maka kau akan menjadi orang yang paling berakal
Ditegaskan, bahwa zuhud dunia adalah sepinya hati dalam mencintai darta dunia, namun bukan berarti tidak mempunyai harta. Maka jangan dikira Nabi Sulaiman as, bukanlah seorang yang Zuhud. Bahkan beliau adalah Azhaduz Zahidiin (termasuk orang yang paling zuhud), Nabi Sulaiman as, makan hanya roti dari gandum kasar sedangkan Beliau memberi makan mahluk lain dengan makanan yang sangat enak dan lezat. Orang mempunyai sifat zuhud; mengambil secukupnya untuk dirinya sendiri dan memberikan untuk orang lain yang lebih baik, inilah yang dikatan ‘Adhomuz Zuhdi (Zuhud yang paling agung).
Sayidul thoifah Al Junaid ra, mengatakan, berkata “Zuhud adalah, tidak merasa memiliki kekuasaan, dan sepinya hati mengungkit jasa-jasa yang telah dilakukan”, dan dikatakan lagi “Zuhud adalah, menganggap remeh dunia serta melebur dampak yang timbul akibat dunia”. Berkata Sufyan Atsauri: “Zuhud dunia itu, mempersempit angan-angan kosong”. Berkata Abu Sualaiman Ad daroni: “Zuhud menurut kami adalah, meninggalkan setiap perkara yang dapat menyibukkan sehingga lupa kepada Allah Swt.”
Zuhud mempunyai derajat luhur setelah taqwa. Karena Zuhud menjadikan sebab cinta kepada Allah Swt. Adakah derajat yang lebih luhur dari mahabah ilallah (Cinta kepad Allah Swt)?. Bersabda Rasulullah Saw:
ازهد فى الدنيا يحبك الله وازهد فيما عند الناس يحبك الناس
“Zuhudlah (dalam masalah) dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah kamu terhadap apa yang dimiliki diantara orang-orang (disekitarmu) maka mereka akan mencintaimu.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Maka barang siapa dicintai oleh Allah, maka ia mendapatkan derajat yang paling luhur dan mulia. Dan dengan zuhud inilah para Ulama dan Salafus Shalihin mendapatkan derajat yang tinggi.

Orang yang Cinta Dunia
Orang yang tidak Zuhud dunia berarti ia mencintai dunia. Orang yang mencintai dunia, maka ia akan seperti orang yang mabuk minuman keras, bahkan ia akan selalu bertanya, Dimana hidayah (petunjuk)? Dimana jalan yang benar (ridho tuhan)?. Hal seperti itu terjadi karena mereka selalu sibuk dalam mencari-cari harta dan hatinya selalu mengharapkan mendapatkan harta, karena ketika rasa cinta sudah menancap dalam hati maka kecintaanya akan terlihat dalam perilakunya. Jika sudah seperti ini, maka Allah pun akan mencabut rasa tenteram dalam hatinya dan jauh dari Zuhud, walaupun ia sudah memiliki harta dan segala macam perhiasan, hatinya akan selalu merasa resah, jauh dari rasa tenteram. Jika ini terjadi, bagaiman ia akan medapatkan hidayah (petunjuk), dan pertolongan dari Allah Swt?.

Terhindar dari fitnah dunia
Ketika seorang menetapi zuhud maka ia harus tidak minta dikasihani oran lain dan bahkan suka memberi apa yang ia punya untuk orang lain, itu adalah sebagian untuk selamat dari fitnah dunia. Dijelaskan oleh pengarang Kifayatul atqiya waminhajul ashfiya, untuk menuju keselamtan dunia, artinya terhindar dari kerusakan dan kejelekan penghuni dunia (manusia), ada 4 (empat ) langkah.:
1. Memaafkan kebodohan orang lain
Memaafkan tindakan seseorang yang merampas hak dan menyikiti hati kita akibat kebodohan mereka, bahkan berusaha untuk menutupi kebodohan mereka.
2. Tidak membodohi/menganggap bodoh orang lain.
Mencegah mnyindir seseorang karena kebodohannya, karena itu akan manyakitkan.
3. Tidak minta dikasihani
Menghindari diri dari sifat minta belas kasih orang lain
4. Suka memberi yang ia punya
Suka memberi apa-apa yang kita punya.
Apabila keempat langkah ini ada pada diri kita, maka kita akan menjadi orang yang dicintai. Karena orang yang dapat memaafkan kebodohan orang lain dan bersabar dengan hinaan, tidak menganggap bodoh orang lain, tidak minta dikasihani, serta suka memberi, maka ia akan menjadi oran yang dicintai dan dipuji.
Janganlah melakukan suatu yang dapat mendatangkan kemarah dan kebencian agar terhindar dari hinaan dan kebencian orang lain. Apabila tidak menetapi langkah-langkah di atas maka yang terjadi adalah pertentangan dan perdebatan bahkan akan menjadi orang yang dibenci.
Keterangan di atas diambil dari perkataan Hatim al Ashom ra, terhadap Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya: “Apa yang dapat menyelamatkan kita dari fitnah dunia?” Hatim menjawab: “Tidak ada yang dapat menyelamatkanmu dari fitnah dunia sehingga kau dapat melakukan empat hal. Memaafkan kebodohan seseorang, tidak membodohi, suka memberi, tidak minta belas kasihan. Apabila kau mampu melakukan ini maka selamatlah dari fitnah dunia”. Mari kita memohon kepada Allah Swt, semoga kita diberi akhlaq seperti itu dan akhlaq yang terpuji lain!.

Belajar ilmu
Diwajibkan bagi setiap orang untuk belajar ilmu yang dapat memperbaiki ‘aqidah yang sesuai dengan ajaran Ahlus Sunah wal Jama’ah. Hal ini dilakukan untuk menghindari ‘aqidah yang fasid (rusak), seperti I’tiqad mu’tazilah, jabariyah, mujasimah.
Juga diwajibkan bagi setiap orang untuk belajar ilmu yang dapat membersihkan hati dari sifat tercela, seperti sombong(takabur), suka pamer(riya’), suka menghasut,serta lsifat ainnya yang berupa penyakit hati.

Mengamalkan ilmu
Apabila seseorang mempunyai ilmu dan mengamalkannya, maka ilmua itu akan membuahkan hasil ia memperoleh surga dan mendapatkan derajat yang tinggi di dunia dan di akhirat. Allah Swt berfirman:
الله الذين أمنوا منكم درجة واحدة والذين أوتوا العلم درجات يرفع
Ibnu Abas mengatakan: “Allah Swt, mengangkat derajat Ulama diantara orang mukmin yang lain dengan perbandingan tujuh ratus derajat, dan diantara dua derajat mempunyai jarak lima ratus tahun.” Nabi Muhammad Saw, telah menyaksikan bagaimana seorang yang mencari ilmu masuk ke dalam surga dan para Malaikat mengagungkan orang yang mencari ilmu karena memuliakan ilmu, dan tidak ada yang di agungka oleh malaikat kecuali orang yang (diberi)keagungan (oleh Allah Swt) di “kerajaan langit”.
Berkata seorang guru: “datang kepadaku seorang laki-laki ahli ilmu kasyfu, beliau tidak pernah berdiri (menghormat) pada seseorang kecuali kepada penuntut ilmu.beliau mengatakan: “sesungguhnya aku berdiri karena ketika itu aku melihat malaikat berdiri bersama orang yang menuntut ilmu yang tidak diketahui orang lain ”
Disaksikan juga oleh Rasulullah Saw, bahwa seorang yang ahli ilmu, semua memintakan ampun kepadanya mahluk yang ada di langit dan dibumi. Derajat manakah yang lebih agung dibandingkan seseorang yang dapat menyibukkan semua mahluk di langit dan di bumi untuk memintakan ampun untuknya. Kesimpulannya, keutamaan ilmu dan orang yang ahli ilmu sangat banyak sekali dan akan kita tuturkan nanti insya Allah.


Daftar pustaka: kitab Kifayatul Atqiya waminhajul Ashfiya