TAQLID dalam Syari’at Islam artinya MENGIKUT. Kalau saya katakan: “Saya bertaqlid dengan madzhab Syafi’I”, maka itu artinya “Saya mengikuti madzhab Syafi’i”.
Mengikut atau Taqlid, bukan berarti harus mengetahui dalil-dalil yang didapat oleh Imam-imam Mujtahid, namun akan lebih baik jika kita mengetahui dalilnya pengambilannya, yakni dari mana Qurannya, dari mana haditsnya, namun tidak jelek pula yang kita ketahui hanya fatwa-fatwanya saja.
Bertaqlid itu baik bahkan, tertulis dalam kitab-kitab Fiqh dengan terang. Bahkan Ulama-ulama dahulu bangga jika dikatakan bertaqlid kepada salah satu Imam Mujtahid. Dan dengan bangga pula mereka menggandengkan nama Imam Mujtahid sebagai tempat bertaqlid di belakang namanya sendiri.
Misalnya pengarang tafsir Albaghowi menuliskan namanya Imam Al-Jalil Muhyis Sunnah Abi Muhammad al Husein bin Mas’ud al farra’ al Baghawi As Sayafi’I (wafat: 516 H)
Pengarang tafsir Ibnu Katsir Imam Imamuddin Abdul Fida’, Ismail Ibnu Katib Abu Hafsah Umar bin Katsir As Syafi’I (wafat: 774 H)
Pengarang tafsir Jamal Imam Sulaiman bin Umar al Ujaili as Syafi’I (wafat: 1204 H). dll.
Pembagian Manusia
Manusia ini dalam kenyataannya terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Yang ‘alim besar, yang ilmunya sudah tinggi, sudah sampai pada derajat Imam Mujtahid mutlak.
2. Yang berilmu, tetapi ilmunya masih kurang, tidak sampai pada derajat Imam Mujtahid. Seperti halnya para Kyai, Ustadz, guru-guru, Mu’alim, dan gelar-gelar yang lain.
3. Golongan ketiga yang paling banyak, yaitu rakyat yang terdiri dari kaum tani, buruh, pekerja kantoran yang tidak tahu agama, tukang batu, pengamen, dan lain sebagainya.
Golongan ketiga ini biasa diistilahkan sebagai orang awam
Jika dianalogikan seorang ada yang tamatan Universitas Kedokteran sampai spesialis, ahli bedah kepala, ahli jantung, ahli saraf, hingga sampai dinamakan profesor. Namun ada juga yang tamatan akademi kesehatan yang sedang-sedang saja ilmunya.
Semisal ada seorang sakit perut, nah kemanakah ia harus memeriksakan diri?. ke petanikah?, ke tukang pos kah? Ato ke dokter?. Pun jika ke dokter, masih ada dokter spesialis. Kemanakah ia akan memeriksakan diri, apa ke dokter spesialis mata, ato spesialis penyakit dalam?. Masing-masing mempunyai keahlian sendiri dalam keilmuan.
Jika demikian, kalau ada yang mengatakan haram hukumnya bertaqlid pada Ulama ini adalah PENDAPAT YANG BATIL. Kita mencoba untuk berfikir realistis, Sanggupkah seorang petani, tukang batu, pegawai kantor pos, misalnya mengambil hukum-hukum ‘ubudiyah, amaliah, waqi’iyah dari Quran dan Hadits langsung, sedangkan mereka tidak tahu bahasa arab sepatahpun?, tentu saja tidak.
Seperti yang kita bahas sebelumnya, bahwa setiap manusia memiliki keahlian dibidang masing-masing. Maka jika tidak tahu, harus bertanya pada orang yang ahli dibidangnya. Bolehkan orang yang sakit mengikuti anjuran dokter?, tentu boleh. Tidak bolehkan seorang mengikuti anjuran atau pendapat Ulama? Tentu saja boleh bahkan sangat diperintahkan. Allah Swt berfirma:
فسئلوا أهل الذكر إنكنتم لاتعلمون (النحل 43)
Artinya: Maka bertanyalah kepada ahli ilmu, kalau kamu tidak tahu (An Nahl: 43)
Ayat ini memerintahkan jika tidak tahu untuk bertanya kepada ahli ilmu. Tentu saja setelah diberi pengetahuan, maka itu akan menjadi pegangan dan diikutinya, Maka inilah yang dikatakan ber Taqlid.
Firman Allah Swt:
وما كان المؤمنون لينفروا كافة . فلو لا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا فى الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون. (التوبة 122)
Artinya: tidak sepatutnya orang-orang yang beriman itu berangkat semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Jelas dalam ayat ini, bahwa sebagian dari kita diperintahkan untuk mencari ilmu. Dalam Tafsir Jalalain dikatakan, maksudnya: فى الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم sesudah ilmu didapat harus pulang kembali kepada kaumnya untuk memberikan pelajaran tentang hukum-hukum agama. Kemudian: لعلهم يحذرون supaya mereka dapat menjaga dirinya untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah Swt. Jadi sebagian masyarakat yang lain diperintahkan untuk mengikuti orang yang berilmu, itulah yang dinamakan taqlid.
Nabi Muhammad Saw, bersabda:
باللذين من بعدى أبى بكر وعمر (رواه أحمد والترمذى وابن ماجة)إقتدوا
Artinya: “Ikutilah dua orang sesudahku, yaitu Abu Bakar dan ‘Umar”
Nabi Saw, memerintahkan untuk mengikuti Abu Bakar dan ‘Umar. Tentu saja ini juga dinamakan taqlid.
Sabda Nabi:
ورثت الأنبياء. (رواه أبو داود)العلماء
Artinya: “Ulama-ulama adalah pewaris para Nabi”
Disini kita diperintah untuk mengikuti para Ulama yang pada perinsipnya adalah sebagai Pewaris Nabi.
Ulama-ulama besar yang bertaqlid Madzhab
Pada zaman sahabat Nabi, tidak ada yang berani menjadi mujtahid kecuali hanya kira-kira 130 orang. Sedang yang lain hanya menyampaikan hadits-hadits dan menyampaikan hukum ijtihad orang lain, tidak berani berijthad sendiri. Pada zaman Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in pun tidak banyak yang sampai pada derajat Mujtahid, paling banyak hanya sekitar 10 orang.
Seluruh Ulama tidak ada yang meragukan lagi dengan keilmuan yang dimiliki oleh Imam Ghozali, Imam Bukhori seorang ahli hadits yang terkenal dengan karangannya Shahih Bikhori, Imam Nawawi. Beliau-beliau ini tidak berani menyatakan diri sebagai seorang Mujtahid Mutlak , bahkan beliau ini masih mengatakan taqli kepada Imam Syafi’i.
Imam Rofi’I seorang Ulama abad VII H, berkata: “orang-orang tamaknya sudah sepakat bahwa tidak ada lagi Imam Mujtahid pada waktu sekarang”, Imam Ghozali mengatakan dalam abad VI: “sesungguhnya tidak berisi zaman ini dengan Mujtahid Mutlak”.
Berkata Imam Ibnu Daqiqi’id pada abad VII H: “tidak ada zaman yang kosong dari Imam Mijtahid”, berkata Abu Ishak Sirazi pada permulaan abad IV H: “Tidak boleh satu masa kosong dari Imam Mujtahid.
Perlu diketahui, bahwa Ulama-ulama yang berpendapat di atas semuanya bermadzhab Syafi’i. Beliau-beliau berselisih tentang ada tidaknya Imam Mujtahid yang baru. Namun tidak melarang seorang untuk menjadi Mujtahid. Hanya melihat kenyataan kemampuan keilmuan pada zaman itu sangat tidak memungkinkan untuk menjadi seorang Mujtahid. Jika demikian, bagaiman dengan zaman sekarang?, Wallahu ‘Alam Bis Sowab.
Contoh kasus orang-orang yang menolak bermadzhab
1. Ada cerita menarik. Pada zaman Khalifah Al Mutawakil (822-861 H). seorang wanita menyatakan diri sebagai Nabi. Kemudian di panggil ia menghadap Khalifah untuk klarifikasi. Khalifah Mutawakil bertanya: “Enkau Nabi?”, “Ya tuanku” jawab si wanita. “”nkau tidak percaya kepada Nabi Muhammad Saw, bahwa tidak ada lagi Nabi sesudah Nabi Muhammad?”. Wanita itu menjawab “Percaya tuanku, akan tetapi yang dimaksud perkataan “Nabiya” itu adalah Nabi laki-laki, sedangkan saya adalah Nabi Perempuan”.
Medengar jawaban wanita ini, Khalifah Al Mutawakil tertawa dan membebaskanya karena dianggap sinting/gila.
2. Adalagi juga pada zaman Khalifah Al Mutawakil, serorang laki-laki mengaku menjadi Nabi. Ditanya oleh Khalifah “Apa bukti dalam alquran bahwa kau adalah seorang Nabi”, orang itu menjawab: “Ayat Tuhan dalam surat An Nasr”, katanya:
إذا جاءنصرالله والفتح
Artinya: apabila datang nashrullah dan kemenangan.
“Nama saya Nashrullah” katanya.
Khalifah Al Mutawakil jadi bingung mendengar Nabi palsu berdalil dengan alquran.
3. Ada juga orang yang mengatakan beristeri boleh sampai 18 isteri, ia juga mengambil dalil Alquran. Ada lagi yang mengatakan, kalau Nabi Muhammad hidup di jaman sekarang tentu beliau akan menghalalkan riba, karena negara tak akan hidup tanpa Bank yang pakai riba. Fatwa yang aneh lagi, berbuka puasa dengan kolak hukumnya bid’ah, Shilatir Rahim minta maaf pada saat Idul Fitri bid’ah, berdzikir bid’ah, dan tuduhan bid’ah yang lain akibat tidak adanya tendensi yang jelas dari Ulama-ulama ahli ilmu hanya mangandalkan pemahaman sendiri yang dangkal.
Dan banyak lagi kasus yang lain, namun untuk supaya tidak jenuh dalam membaca karena terlalu panjang kita cukupi sekian.
Kesimpulan
Apabila seorang tukang Pos, buruh pabrik, atau bahkan dokter gigi sekalipun ingin melakukan operasi katarak. Kira-kira apa yang akan terjadi?, tentu saja bukannya sembuh, justeru malah semakin parah atau mungkin mengakibatkan kebutaan atau bahkan kematian. walaupun mereka sudah membaca buku tentang itu berulang kali sampai hafal.
Seorang yang belum bisa nyetir mobil, tapi berkeras hati untuk nyetir mobil sendiri, maka yang terjadi adalah ia akan mengalami kecelakaan atau masuk jurang. Yang lebih baik kalau belum pandai menyetir mobil, duduk sajalah dibelakang, serahkan setir pada ahlinya. Insya Allah akan lebih selamat.
Akan lebih baik dan lebih aman jika belum mampu menggali sendiri hukum dari Alquran dan Hadits, agar mengikuti fatwa Imamnya yang ahli. Jika berdakwah boleh mengambil dari Alquan dan Hadits namun dalam penjelasannya haruslah dari Ahli Tafsir ataupun ahli Hadits, bukan ditafsir dengan pendapatnya sendiri. Ini adalah jalan yang paling aman. Wallahu ‘alam bis showab.
Sekian!!!
NB: Untuk penjelasan Imam Madzhab, menurut Ahlus Sunah wal Jamaah, harus sesuai dengan salah satu dari 4 madzhab akan di jelaskan lebih lanjut di waktu akan datang, insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar